Senin, September 14, 2009

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Dan Tauhid

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Dan Tauhid

Ibnu Athaillah As Sakandary
Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum, yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam ungkapan, wacana, akidahnya,
dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam. Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah, yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi, kinerja qalbu maupun akidah, serta keikhlasannya. Inilah disebut tahap Iman. Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik melalui pandangan nyata, yaqin dan penyaksian (musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap Ihsan.Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :

1. Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi umumnya makhluk.
2. Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi kalangan khusus dari orang beriman.
3. Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan lebih khusus, yakni dzikirnya kaum 'arifin melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri serta anugerahnya kepada mereka.

Perilaku Dzikir "Allah"
Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.

Kondisi pertama: Remuk redam dan fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada dzikir "Allah" saja, bukan Asma-asma lain, yang secara khusus dilakukan pada awal mula penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan sebagai munajatnya, lalu mengokohkan manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.

Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya) maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan remuk redam, tak satu pun diterima oleh orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun menghindar dari manusia, demi kokohnya remuk redam dirinya sebagai pakaian lahiriahnya. Rahasia Asma "Allah" inilah yang hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah, maka tak satu pun manusia mampu menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat, yang bisa berhubungan dengan jiwa seseorang, walau di tengah khalayak publik, sebagaimana firman Allah swt :

"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka di hari itu dan tidak ada pula saling bertanya." (Al-Mu'minun: 101)

Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka. Diam pula dari segala kecondongan dirinya maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk dan khusyu'.

Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat." (Al-Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang indah." (Al-Hajj : 5)

Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi (baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya, maka simbol-simboilnya dan sifat-sifatnya terhanguskan.

Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana' dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu berpindah (transformasi) dari kondisi remuk redam nan fana' menuju kondisi hidup dan baqo'. Kondisi tersebut menimbulkan nuansa kharismatik dan kehebatan dalam semesta, dimana segalanya takut, mengagungkan dan metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan semesta meraih berkah kehadirannya.

Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo, maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah" pada kondisi ini senantiasa mengagungkan apa pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam mengajak manusia menuju agama Allah swt. Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah swt, hanya bagi Allah swt.

Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan tak satu pun makhluk mempengaruhinya, bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah dari kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan kehidupan yang penuh limpahan nikmat selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya. Tak sedikit pun ada kekeruhan maupun perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam kondisi ruhaninya, aman dan tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras yang menyirami kegersangan makhluk, dimana pun ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-Mu'minun: 14)[pagebreak]

Suatu hari seorang Sufi sedang berada di tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba berteriak, "Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar hancur!".

Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd berkomentar, "Saudaraku Bila yang anda sebut itu menyaksikanmu dan anda pun hadir bersamaNya, berarti engkau telah mengoyak tirai dan kehormatan, dan mendapatkan kecemburuan aroma pecinta yang diberikan. Namun jika anda mengingatNya, sedangkan anda ghaib dariNya, maka menyebut yang ghaib (tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra, ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh hari tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur, ia tetap terus menerus menyebut Allah…Allah…

Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas tingkah lakunya itu.
"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?" Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan tidak memberikan jalan kepada syetan padanya." Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri dan mendatanginya, mungkin kita bias memberi manfaat padanya atau sebaliknya kita mengambil faedah darinya."

Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah (Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila engkau mengucapkan bersama Allah, maka bukan andalah yang mengucapkannya. Karena Dialah yang berkalam melalui lisan hambaNya. Sang Pendzikir adalah diriNya bersama DiriNya. Namun bila yang menyebut tadi adalah dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga bersama dirimu sendiri, maka apalah artinya remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah remuk redamnya tiba-tiba hilang.

Dan aku remuk redam bersamamu karena mengenangmu
Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia telah membubung kepadaNya

Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan, disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan kealpaan menuju padang musyahadah (penyaksian kepadaNya).

Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia tidak terhilangkan dirinya melalui musyahadah kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah, sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang Didzikir.

Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya adalah dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya, maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya melalui lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, dan Akulah penghlihatan yang dengannya ia melihat, dan Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan penguat baginya."

ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG

ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG


قَد أَفلَحَ المُؤمِنونَ ﴿١﴾ الَّذينَ هُم فى صَلاتِهِم خٰشِعونَ ﴿٢﴾ وَالَّذينَ هُم عَنِ اللَّغوِ مُعرِضونَ ﴿٣﴾ وَالَّذينَ هُم لِلزَّكوٰةِ فٰعِلونَ ﴿٤﴾ وَالَّذينَ هُم لِفُروجِهِم حٰفِظونَ ﴿٥﴾ إِلّا عَلىٰ أَزوٰجِهِم أَو ما مَلَكَت أَيمٰنُهُم فَإِنَّهُم غَيرُ مَلومينَ ﴿٦﴾ فَمَنِ ابتَغىٰ وَراءَ ذٰلِكَ فَأُولٰئِكَ هُمُ العادونَ ﴿٧﴾ وَالَّذينَ هُم لِأَمٰنٰتِهِم وَعَهدِهِم رٰعونَ ﴿٨﴾ وَالَّذينَ هُم عَلىٰ صَلَوٰتِهِم يُحافِظونَ ﴿٩﴾ أُولٰئِكَ هُمُ الوٰرِثونَ ﴿١٠﴾ الَّذينَ يَرِثونَ الفِردَوسَ هُم فيها خٰلِدونَ ﴿١١﴾

Benar-benar mendapatkan keberuntungan besar orang yang beriman. Yaitu orang yang khusyu' dalam sholat mereka . Dan orang yang berpaling dari berlebihan. Dan orang yang melaksanakan zakat.
Dan orang yang menjaga kelamin-kelaminnya, kecuali pada isteri-isteri mereka atau budak perempuan, sesungguhnya mereka tidak tercela.
Maka siapa yang mencari di luar itu, maka mereka itulah golongan orang memushi dirinya. Dan orang yang menjaga amanah dan janji mereka. Dan orang-orang yang menjaga sholat mereka.
Merekalah para pewaris, yang mewarisi surga firdaus,
mereka abadi di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 1-11)

Keberuntungan adalah mereka yang benar-benar beriman dan yaqin:

1. Disebutkan orang-orang yang khusyu', adalah orang yang hatinya hadir di hadapan Allah ketika sholat, orang yang dipenuhi kepatuhan total atas kharisma Ilahi karena munculnya cahaya keagunganNya.
2. Mereka yang berpaling dari berlebihan, adalah mereka yang terkonsentrasi pada kesibukan jiwanya pada Allah Ta’ala. Karena selain sibuk bersama Allah, hanyalah permainan belaka.
3. Orang yang menunaikan zakat, adalah mereka yang telah membersihkan jiwanya dari sifat-sifat manusiawi yang menghalangi peningkatan 'ubudiyah mereka kepada Allah. Merekalah yang bisa menjawab panggilan Allah dan dekat dengan kehadiran Allah Ta’ala. DariNya, BersamaNya, KepadaNya, BagiNya, bersandar kepadaNya. Itulah Taqarrub.
4. Orang-orang yang menjaga kelaminnya dan seluruh aspek yang mendorong kenikmatannya, syahwatnya, yaitu mereka yang senantiasa menjaga hatinya untuk tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga hasratnya hanya kepada Allah Ta'ala semata.
5. Siapa yang mencari di luar itu, maksudnya lebih cenderung pada hawa nafsunya, berarti orang itu telah menumpuh musuh dalam dirinya, yang kelak malah mendzalimi diri sendiri secara berlapis-lapis.
6. Orang-otrang yang menjaga amanah dan janjinya, adalah mereka yang menjaga rahasia Ilahi yang penuh dengan keagungan, yang telah dititipkan oleh Allah ta'ala dalam sirr mereka, dan mereka ini adalah yang menjaga janji di alam Azali, di alam fitrah, dengan menunaikannya dan menghidupkan di alam dunia ini.
7. Dan mereka yang menjaga sholatnya, yaitu mereka yang bermusyahadah melalui ruhnya, menjaga musyahadah itu secara langgeng, sampai meraih ma’rifatullah yang sejati.
8. Mereka adalah para pewaris syurga ruh di puncak Kemahasucian Ilahi.

Rabu, September 09, 2009

Diselamatkan Oleh Keindahan

Diselamatkan Oleh Keindahan

INI adalah kisah nyata tentang dahsyatnya keindahan. Keindahan yang menyatukan hati manusia tanpa memandang apa agamanya. Kisah ini terjadi di India, pada saat diperintah gubernur Inggris yang bernama Lord William Wintock (1828-1835).

Gubernur Lord Wintock diingat dunia sebagai manusia yang pernah memerintahkan untuk menghancurleburkan Taj Mahal di Agra. Perintah penghancuran Taj Mahal itu bermula dari kepailitan yang dialami Lord Curzon,sang pemilik perusahaan India Timur.

Lord Curzon menceritakan kesulitannya yang sangat berat kepada Gubernur Lord Wintock.
Hal itu mendorong Gubernur Lord Wintock berpikiran untuk menjual Taj Mahal. Saat itu diperkirakan Taj Mahal bisa laku sampai 100.000 rupee.
Uang sebesar itu sudah cukup untuk menutupi utang dan kesulitan keuangan yang dialami perusahaan Inggris di India tersebut. Berita tentang rencana penjualan Taj Mahal oleh Gubernur Lord Wintock itu beredar sangat cepat. Dalam waktu sekejap gelombang penentangan yang sangat keras muncul.

Hal itu membuat Lord Wintock marah besar.Ia lalu melangkah lebih berani, tidak hanya ingin menjual Taj Mahal, ia malah mengeluarkan ultimatum untuk menghancurleburkan Taj Mahal yang menjadi kebanggaan rakyat India itu.

Demi mendengar ultimatum Lord Wintock yang gila itu, gelombang perlawanan muncul di mana-mana. Orang Islam dan orang Hindu bersatu padu dalam melakukan perlawanan untuk mempertahankan Taj Mahal.

Rakyat India bersatu padu dalam kekuatan penuh untuk melawan Gubernur Inggris.
Pemberontakan besar siap meledak di seluruh India. Para penasihat gubernur melihat bahaya besar yang mengancam kolonial Inggris akibat perintah penghancuran Taj Mahal itu.

Mereka meminta agar gubernur Lord Wintock mencabut perintahnya dan meminta maaf kepada rakyat India.
Dan akhirnya hal itu dilakukan Lord Wintock. Taj Mahal selamat. Dan pemberontakan besar tidak jadi meletus.

Ada komentar menarik tentang peristiwa itu,
”Sesungguhnya yang menyelamatkan Taj Mahal bukanlah orang-orang India. Akan tetapi, Taj
Mahal diselamatkan oleh keindahannya sendiri.Andai Taj Mahal tidak indah, ia tidak akan mendapat dukungan dari jiwa dan raga seluruh rakyat India sedahsyat itu. Andai tidak indah, orang Islam dan Hindu tidak akan bersatu di belakangnya untuk menggagalkan rencana pemerintah Inggris.”

Ketika bom teroris kembali meledak di Jakarta, saya teringat kisah dahsyatnya keindahan Taj Mahal ini. Sebab kembali bom itu dikait-kaitkan dengan kelompok Islam. Peledakan bom itu jelaslah bukan tindakan manusia beradab, dan sangat jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Maka ketika peledakan JW Marriott dan Ritz Carlton dikaitkan dengan kelompok Islam, ada dua hal yang berkelebat dalam benak saya;

Yang pertama, pengeboman itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam,
atau karena tidak ada kaitannya dengan Islam dan kelompok Islam.
Berarti, tindakan mengaitkan pengeboman itu dengan Islam adalah bentuk fitnah terhadap Islam. Beberapa dekade ini, Islam memang sering dikaitkan dengan tindakan terorisme yang sangat ditentang Islam.

Setiap kali ada bom meletus, telunjuk dunia ”dipaksa” mengarah kepada Islam dan umatnya. Dan berkali-kali pula telunjuk itu salah tuding.Fitnah terhadap Islam ini sedikit banyak membuat pemeluk agama Islam merasa sangat tidak nyaman.
Sudah banyak terbukti perlakuan yang tidak adil kepada pemeluk Islam di negara-negara yang ”fasih”menuding Islam sebagai biang kerok terorisme.

Menyikapi fitnah ini,hal terbaik yang dilakukan umat Islam,menurut saya, adalah dengan mengamalkan keindahan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Islam yang mengajarkan umatnya untuk tidak menyakiti binatang, apalagi
manusia.

Jika pemeluk Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil `alamin, dan Islam itu sangat mulia tidak ada yang lebih mulia dari Islam, maka tidak ada alasan untuk takut atau khawatir bahwa citra Islam akan rusak.

Dengan menghayati Islam dan mengamalkan keindahan ajarannya secara konsekuen,maka kedamaian akan hadir dalam jiwa pemeluk Islam. Dan Allah-lah yang akan menjaga Islam lewat keindahan Islam itu sendiri.

Betapa banyak data yang ditulis sejarah, ribuan kali Islam difitnah dan keindahan Islam mampu menepis fitnah itu.

Kedua,jika tudingan pengeboman itu memang ada kaitannya dengan kelompok Islam tertentu,maka jelas kelompok yang melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan itu sama sekali tidak memahami Islam. Dan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menuding pengeboman itu sebagai tindakan atas nama Islam.

Jika kelompok tidak bertanggung jawab itu beranggapan dengan pengeboman itu telah membela dan memperjuangkan Islam. Jelas itu adalah anggapan yang jauh dari benar.

Bagaimana mungkin ada seorang muslim memperjuangkan Islam dengan membunuh saudaranya sesama muslim dan saudaranya sesama manusia ?

Di dalam Islam, setetes darah seorang muslim lebih mulia dari Ka'bah yang
ada di Mekkah. Runtuhnya Kakbah itu lebih ringan daripada tumpahnya
darah seorang muslim meskipun cuma setetes.

Kalau kelompok itu benarbenar memahami Islam, ia tidak akan sampai melakukan kekejian itu,
berpikir pun tidak. Sekali lagi kalau dia benar-benar memahami Islam. Islam sama sekali tidak memerlukan untuk dibela dengan menumpahkan darah atau menyakiti orang lain.Sebab,Islam diturunkan justru untuk membawa perdamaian,untuk mencegah pertumpahan darah, untuk mencegah tindak kezaliman sekecil apa pun.

Islam tidak untuk dibela dengan kemarahan.
Sebab Islam datang untuk meredamkan amarah yang membawa kerusakan.
Islam dalam sepanjang sejarahnya telah terbukti mampu membela dirinya dengan
keindahan ajarannya yang lebih indah dari bintang yang paling indah.

Taj Mahal yang bisa mempertahankan diri dengan keindahannya itu hanyalah setetes kecil dari keindahan peradaban Islam.
Mengamalkan keindahan ajaran Islam dengan baik dan benar, dengan penuh rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itulah cara terbaik membela Islam yang dianut oleh
mayoritas penduduk Republik Indonesia ini.

Allahu a`lam.

ORANG BODOH VS ORANG PINTAR

By Mario Teguh


Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya berbisnis...
Agar bisnisnya berhasil, tentu dia harus rekrut orang pintar.
Walhasil boss-nya orang pintar adalah orang bodoh.

Orang bodoh sering melakukan kesalahan,
maka dia rekrut orang pintar yang tidak pernah salah untuk memperbaiki yang salah.
Walhasil orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk keperluan orang bodoh.

Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah untuk selanjutnya mencari kerja.
Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk
membayari proposal yang diajukan orang pintar.

Orang bodoh tidak bisa membuat teks pidato,
maka dia menyuruh orang pintar untuk membuatnya.

Orang bodoh kayaknya susah untuk lulus sekolah hukum (SH).
oleh karena itu orang bodoh memerintahkan orang pintar
untuk membuat undang-undangnya orang bodoh.

Orang bodoh biasanya jago cuap-cuap jual omongan,
sementara itu orang pintar percaya.
Tapi selanjutnya orang pintar menyesal karena telah mempercayai orang bodoh.
Tapi toh saat itu orang bodoh sudah ada di atas.

Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu yang dipikirkan panjang-panjang oleh orang pintar. Walhasil orang orang pintar menjadi staf-nya orang bodoh.

Saat bisnis orang bodoh mengalami kelesuan,
dia PHK orang-orang pintar yang berkerja.
Tapi orang-orang pintar DEMO.
Walhasil orang-orang pintar 'meratap-ratap' kepada orang bodoh agar tetap diberikan pekerjaan.

Tapi saat bisnis orang bodoh maju, orang pinter akan menghabiskan waktu untuk bekerja keras dengan hati senang, sementara orang bodoh menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan keluarganya.

Mata orang bodoh selalu mencari apa yang bisa di jadikan duit.
Mata orang pintar selalu mencari kolom lowongan perkerjaan.

Bill gate (Microsoft), Dell, Hendri (Ford),
Thomas Alfa Edison, Tommy Suharto, Liem Siu Liong (BCA group).
Adalah contoh orang-orang yang tidak pernah dapat S1), tapi kemudian menjadi kaya.
Ribuan orang-orang pintar bekerja untuk mereka.
Dan puluhan ribu jiwa keluarga orang pintar bergantung pada orang bodoh.


PERTANYAAN :
Mendingan jadi orang pinter atau orang bodoh??
Pinteran mana antara orang pinter atau orang bodoh ???
Mana yang lebih mulia antara orang pinter atau orang bodoh??
Mana yang lebih susah, orang pinter atau orang bodoh??


KESIMPULAN:
Jangan lama-lama jadi orang pinter,
lama-lama tidak sadar bahwa dirinya telah dibodohi oleh orang bodoh.

Jadilah orang bodoh yang pinter dari pada jadi orang pinter yang bodoh..
Kata kunci nya adalah 'resiko' dan 'berusaha',
karena orang bodoh perpikir pendek maka dia bilang resikonya kecil,
selanjutnya dia berusaha agar resiko betul-betul kecil.
Orang pinter berpikir panjang maka dia bilang resikonya besar untuk
selanjutnya dia tidak akan berusaha mengambil resiko tersebut.
Dan mengabdi pada orang bodoh...

Diamanakah posisi anda saat ini...
Berhentilah meratapi keadaan anda yang sekarang...

Ini hanya sebuah Refleksi dari semua Retorika dan Dinamika kehidupan.
Semua Pilihan dan Keputusan ada ditangan anda untuk merubahnya,
Lalu perhatikan apa yang terjadi...

Stay Super.....

Salam,
Mario Teguh....

Kamis, Agustus 20, 2009

Kalau Hanya Ada Satu Pemenang – Mengapa Kita Ikut Bertanding?

Nih q ada artikel bagus baca ya?

Salah satu alasan mengapa kita memiliki frase ‘kalah sebelum bertanding’ adalah karena pada kenyataannya begitu banyak orang yang enggan untuk ikut dalam pertandingan menyusuri hidup. Hanya karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menjadi pemenang. Jika hidup kita adalah soal kalah dan menang, mungkin cara berpikir itu bisa diterapkan. Namun, pada kenyataannya hidup kita tidak selamanya tentang kalah dan menang. Memang, ada kalanya kita harus terlibat dalam permainan seperti itu. Jika kita tidak mengalahkan orang lain, maka orang lain akan mengalahkan kita; dan kita menjadi pecundang. Namun, sebagian besar kegiatan dalam hidup kita bukan soal itu. Melainkan soal; bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak situasi; ‘menjalani’ hidup itu lebih penting daripada hasil akhirnya.

Anda tentu masih ingat sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki lugu yang tengah duduk diteras sebuah kedai dipinggir jalan. Ketika mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya, dia terperangah, karena tiba-biba saja ada segerombolan orang yang berlarian. Ia lalu bertanya kepada pelayan;”Kenapa sih orang-orang itu pada berlarian begitu?” Sang pelayan menjawab:”Ini perlombaan lari marathon, Tuan.” Ia tersenyum dengan ramah, kemudian melanjutkan:”Pemenangnya akan mendapatkan sebuah piala.” Katanya. Lalu lelaki itu berkata;”Kalau hanya pemenangnya yang mendapatkan piala, kenapa orang-orang yang lainnya juga pada ikut berlari…?”

Kemungkinan besar, didunia nyata tidak ada manusia yang cukup lugu untuk melakukan dialog seperti itu. Setidak-tidaknya dalam konteks ‘lomba lari marathon’. Kita semua tahu bahwa pemenang lomba lari marathon hanya satu orang. Atau paling banyak 3 orang. Jika panitia berbaik hati menyediakan hadiah sampai juara harapan ketiga seperti ketika kita sekolah di TK dulu, maka jumlah pemenangnya paling banyak ada 6 orang. Tetapi, kita tidak cukup bodoh untuk mempertanyakan;”Mengapa ratusan orang lainnya ikut berlari juga?” Tetapi, mari cermati kehidupan sehari-hari kita. Secara tidak langsung kita sering mengajukan pertanyaan naif seperti itu. Kita begitu seringnya bertanya; kenapa orang kecil seperti kita mesti kerja habis-habisan? Paling hasilnya cuma segitu-gitu juga.

Ketika masih disekolah menengah dulu, saya beberapa kali mengikuti 10K Marathon Competition. Dalam perlombaan itu, selalu saja ada atlet profesional dari pelatda yang ikut serta. Tapi, jumlah mereka tidak banyak. Sedangkan, ratusan peserta lainnya adalah mereka yang paling banter hanya berolah raga seminggu sekali saja, termasuk saya dengan tubuh kerempeng dan napas yang pas-pasan ini. Bahkan ada juga peserta yang sudah lanjut usia. Nyaris tidak mungkin kami bisa menang. Kami semua mengetahui hal itu. Tapi, mengapa kami tetap ikut perlombaan itu? “Ya, kenapa Kakek mengikuti perlombaan ini?” Anda boleh bertanya begitu kepada si Kakek veteran perang kemerdekaan yang ngotot mau ikut perlombaan. Dan dia akan menjawab: “Kakek mah, yang penting sehat, cucu. Tidak apa-apa menang juga. Yang penting sehat….” Alah, yang penting sehat, kata si Kakek.

Kalau anda tanyakan itu kepada orang dewasa lainnya, mereka akan menjawab: “Demi kesehatan, Mas. Kita perlu berolah raga. Kalau menang syukur. Tidak juga yah, tidak apa-apalah. Yang penting sehat.” Sedangkan, gadis-gadis remaja berusia belasan tahun akan menjawab:”Tau deh, Mas. Pokoknya seru ajjah. Bisa ketemuan sama teman-teman.” Dan dari para lelaki kecil yang sedang puber seperti saya waktu itu, mungkin anda akan mendengar:”Asyik Mas. Banyak cewek kece yang ikutan….” Pendek kata, ada begitu banyak alasan mengapa orang ikut serta dalam perlombaan lari marathon itu; meskipun mereka tahu tidak akan menang. Dan diakhir pertandingan, kita selalu bisa menemukan senyum kepuasan disetiap wajah yang mengikuti perlombaan. Ketika sang atlet pelatnas naik pentas untuk menerima tabanas; setiap orang ikut merasa puas. Tidak ada iri dihati ini. Sebab, dari awal pun kita sudah tahu bahwa hadiah tabanas dan piala itu bukan untuk kita.

Kita mempunyai bagian masing-masing dalam perlombaan itu. Sang Kakek, mendapatkan kesempatan untuk berolah raga dengan gembira demi kesehatannya. Para pemuda senang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Para remaja gembira karena bertemu dengan rekan-rekan seusianya. Sambil ngeceng satu sama lain. Dan tampaknya, semua orang mendapatkan kemenangannya masing-masing. Kecuali orang-orang yang memilih tidur dibawah selimut. Dan mereka yang hanya nongkrong dipinggir jalan yang dilewati para pelari.

Lomba lari marathon mungkin sudah bukan olah raga populer lagi dijaman ini. Tetapi, esensinya masih tetap ada hingga kini. Kehidupan kita, tidak ubahnya seperti perlombaan lari marathon itu. Ada sejumlah hadiah disediakan bagi mereka yang berkoneksi sangat kuat. Bermodal teramat besar. Dan berkedudukan begitu tinggi. Namun, jika saja orang-orang yang tidak memiliki semua keistimewaan itu memilih untuk berhenti sebelum bertanding; kehidupan kita mungkin akan berubah wajah. Menjadi sebuah ironi ketidakberdayaan. Untungnya, sebagian besar manusia sederhana yang kita lihat adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah pejuang hebat yang tidak mudah menyerah. Tengoklah mereka yang tidak pernah lelah untuk terus merengkuh hidup. Mengagumkan sekali. Meskipun mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sejumlah miliaran atau sekedar ratusan ribu rupiah saja; namun mereka tetap melangkah, ikut terlarut dalam geliat hidup. Mereka tidak hendak berhenti. Sebab, sekalipun tahu bahwa uang besar adalah jatah orang-orang besar, namun ikut terlibat dalam permainan keseharian adalah pilihan yang paling bijaksana.

Jika kita berkesempatan untuk menyasar ke pasar-pasar pada pukul dua pagi, kita akan menemukan orang-orang dari jenis ini. Tukang gorengan. Para penyapu jalan. Para petugas pembersih toilet digedung-gedung perkantoran. Para buruh tani. Ibu-ibu tukang cuci pakaian. Para hansip dan petugas keamanan. Para guru bantu disekolah-sekolah reyot . Aih, betapa banyaknya orang yang ikut dalam lari marathon kehidupan ini. Apakah mereka akan mendapatkan piala? Tidak. Lantas, mengapa mereka ikut berlari? Karena, mereka ingin mengajari kita tentang hidup. Mengajari kita? Ya. Mengajari kita. Karena kita yang lebih beruntung ini sering sekali menyia-nyiakan hidup. Kita terlampau mudah untuk berkeluh kesah. Ketika kita tahu akan kalah, kita langsung menyerah. “Untuk apa kita bekerja jika dibayar dengan upah murah? Cuma membuat kaya para pengusaha saja!” Begitu kita sering berkilah. “Ngapain susah-susah begitu jika hasilnya cuma segini?” Kemudian kita memilih untuk tidur lagi. “Kalau begini caranya, aku berhenti saja!” Lalu kita keluar dari arena. Malu kita oleh orang-orang sederhana itu.

Padahal, Ayah dan Ibu sudah menyekolahkan kita dengan bersusah payah. Mereka mengumpulkan rupiah, demi rupiah. Dengan terengah-engah. Supaya kita bisa kuliah. Setelah kita lulus sekolah? Kita menjadi orang-orang yang begitu mudahnya untuk menyerah kalah. Setiap kali dihadapkan pada jalan yang menanjak sedikit saja, kita sudah cepat merasa lelah. Ketika tersandung dengan kerikil kecil saja, kita sudah mengeluh seolah kehilangan kaki sebelah. Bukan peristiwanya yang menjadi musibah. Melainkan sikap kita untuk memilih menjadi manusia bermental lemah.

Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. Meskipun mungkin mereka tidak sepintar kita. Tidak sekolah setinggi kita. Tidak berkulit semulus kita. Namun, semangat mereka dalam menjalani hidup, bukanlah tandingan bagi kita. Cobalah sesekali tengok garis-garis wajah mereka. Disana kita akan menemukan sebuah gambaran tentang hidup semacam apa yang mereka jalani setiap hari. Tidak lebih mudah dari kita. Sekalipun begitu; mereka enggan untuk berhenti. Mereka terus berlari. Untuk berlomba dalam marathon ini. Perlombaan yang hadiahnya mereka definisikan sendiri. Yaitu; menunaikan panggilan hidup. Dan, apakah sesungguhnya panggilan hidup itu? Untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Dengan segenap bekal yang telah Tuhan berikan didalam diri kita masing-masing. Bersediakah kita mendayagunakannya?


Catatan Kaki:
Hidup tidak selamanya tentang kalah dan menang. Melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dengan tindakan-tindakan yang memberi makna positif.

Pilihan Atas Naik Dan Turunnya Perjalanan Hidup

by Dadang Kadarusman

Sisa-sisa jiwa petualang saya masih agak sukar untuk dihilangkan. Terakhir kali adrenalin ditubuh saya dibuat agak bergejolak ketika saya harus pergi ke Puncak pada hari minggu sore. Panitia sudah memberitahu bahwa jalur ke arah Puncak akan ditutup dari jam 16.00 sampai 18.00 malam. Padahal, acara yang harus saya ikuti akan dimulai jam 19.00 malam. Akhirnya, saya memutuskan untuk berangkat lebih awal. Meskipun untuk itu saya harus membujuk anak lelaki kami yang masih belum puas bermain dengan saya. Sesuai perhitungan, saya bisa keluar di pintu tol Ciawi pada jam 15 lewat 20 menit. Sehingga saya mempunyai waktu yang lebih dari cukup untuk menembus jalur puncak sebelum ditutup. Tetapi, apa yang saya hadapi ternyata jauh dari dugaan. Jalur itu sudah ditutup lebih awal!

Pilihannya hanya ada 2. Menunggu dipinggir jalan selama 2 jam 40 menit, atau; mencoba jalur alternatif yang belum pernah saya lalui. Dan, saya mengambil pilihan yang kedua. Sebenarnya, ditempat itu, banyak sekali orang yang menawarkan jasa sebagai navigator, alias penunjuk jalan. Tetapi, saya memutuskan untuk melakukannya sendirian. Pada awalnya, jalur itu sangat enak untuk dilalui. Jalannya beraspal tebal. Dan bisa dibilang datar. Tidak salah lagi, perjalanan ini merupakan sebuah karunia, dimana kita bisa mengemudikan mobil sambil memandang alam yang indah disisi kiri dan kanan. Tapi, tunggu dulu. Jalur itu secara perlahan menyempit, menanjak dan menerjal. Juga berliku-liku. Selamat datang dipegunungan!

Serta merta saya menyadari bahwa mobil dengan transmisi otomatis tidak dirancang untuk naik dan turun gunung sedemikian ekstrimnya. Maka jadilah jantung saya berdebar-debar ketika harus menuruni jalan licin yang menukik tajam. Dan debaran itu menjadi semakin kencang lagi ketika melalui tanjakan yang kadang-kadang serasa lebih dari 45 derajat terjalnya. Hingga sesekali saya bertanya; bisakah mobil yang saya kendarai melewati tanjakan ini? Anda tidak mengharapkan mobil yang anda tumpangi mogok ditempat seperti ini, bukan? Sebab, tak jarang tanjakan itu diapit oleh tebing yang tinggi di sisi kiri, dan jurang yang dalam disebelah kanan. Tetapi, karena anda sudah memilih jalur itu, maka anda harus menghadapi resiko itu.

Sekalipun begitu, kembali ke jalur yang tadi bukan merupakan pilihan yang menarik. Disamping hal itu agak memalukan bagi saya yang terlanjur sok yakin ini; saya juga tidak menemukan tempat yang tepat untuk memutar kendaraan. Jangankan untuk memutar; sekedar berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan saja sudah harus berhenti salah satu. Dalam situasi seperti itu, diam-diam saya menyadari satu hal; ternyata hidup kita pun demikian. Kita mempunyai begitu banyak pilihan dalam hidup. Dan setiap kali kita memilih, maka kita harus bersedia menerima segala konsekuensinya. Kita boleh memilih untuk diam. Menunggu disuatu tempat sampai keadaan ’menjadi lebih baik’. Dan kita juga boleh memilih untuk melalui jalur alternatif. Bedanya, dipintu keluar tol Ciawi saya hanya perlu menunggu sampai tiba jam 18.00 malam. Dan jalur itu akan boleh saya lalui lagi. Tetapi, dalam hidup, kita tidak selalu tahu apa yang akan terjadi diujung penantian ini.

Dalam banyak hal, bersikap menunggu bukanlah pilihan yang tepat ketika kita tengah menjalani hidup. Sebab, seringkali, sikap menunggu hanya menyebabkan kita kehilangan kesempatan. Coba saja anda perhatikan. Orang-orang yang mengambil tindakan, seringkali berhasil mendahului mereka yang bersikap menunggu. Orang-orang yang pasif, nyaris selalui bisa dilampui oleh mereka yang pro-aktif. Memang, resiko menunggu itu lebih kecil, daripada mengambil tindakan yang progresif. Dan seperti kita ketahui, semakin besar tindakan yang kita ambil, semakin besar pula resikonya. Jika saya tidak ingin melalui jalan yang terjal dan mendaki itu, maka memang sebaiknya saya diam saja. Menunggu sampai jalur utama ke Puncak dibuka kembali. Terlebih lagi, saya sama sekali tidak tahu, perjalanan macam apa yang akan saya hadapi di jalur alternatif yang saya tempuh itu. Begitu juga hidup. Lebih aman jika kita berjalan pada jalur yang biasa kita lewati. Sehingga kita boleh menggugat; buat apa mencoba sesuatu yang aneh-aneh tanpa ada kepastian tentang ’seperti apa hasilnya nanti’?

Tapi, hey. Perjalanan barusan yang saya lalui dijalur alternatif ini telah memberi saya sebuah hal yang baru. Pengetahuan baru. Pemandangan baru. Kenikmatan-kenikmatan baru. Debaran-debaran baru. Dan, kepuasan baru dalam hidup saya. Bukankah hidup juga demikian?

Dengan kesediaan mencoba itu, saya telah bisa menikmati pemandangan yang begitu indah. Pemandangan yang tidak saya temukan dijalur yang biasa dilalui. Dengan kesediaan mencoba itu, saya merasakan batapa nikmatnya menjinakkan tanjakan yang terjal. Dan betapa serunya menaklukan turunan yang menukik tajam. Kenikmatan itu, hanya dirasakan oleh mereka yang pernah menjalaninya. Dan, bukankah hidup juga demikian?

Hore,
Hari Baru!

Catatan kaki:

1. Hidup tidak selalu berada di jalur datar. Kadang kita mesti mendaki. Kadang harus menurun. Ketika kita lagi mendaki, rasanya berat sekali. Kita rindu dengan jalan datar yang menyenangkan. Dan ketika kita tengah menurun, rasanya menakutkan. Kita rindu pada jalanan yang rata tak bergelombang.
2. Hidup tidak selalu berada dalam nikmat. Kadang kita diberi kesempatan untuk menempati singgasana yang tinggi. Tetapi, pasti ada saatnya bagi kita untuk turun lagi. Kita suka lupa, bagaimana caranya untuk turun. Terutama, jika kita sudah menempati posisi yang tinggi


Pesan ..

Hidup harus dijalani dengan baik, meski banyak cobaan dan hadangan menerjang. Kita harus tetap hidup karena pilihan untuk hidup adalah bahagia atau menderita. Jika menderita apakah tidak ada kebahagiaan dan sebaliknya jika bahagia apakah tidak ada penderitaan. Semua berpulang bagaimana kita menjalaninya. Bikinlah hidup menjdi lebih HIDUP

Dimana Anda memperingati kemerdekaan RI kali ini

Dimana Anda memperingati kemerdekaan RI kali ini? Dilapangan upacara, atau didepan pesawat televisi? Sungguh, saya merindukan semangat semasa kecil dulu; ketika saya begitu antusiasnya menyambut peringatan kemerdekaan RI. Ketika bendera-bendera kecil berkibaran dimana-mana. Ketika penduduk dari berbagai kampung berangkat bersama-sama menuju lapangan luas di alun-alun kecamatan untuk bersama-sama melakukan upacara bendera, dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Ketika bunyi kedepruk sepatu pasukan pengibar bendera menghentak-hentak lantai semen. Ketika semuanya memberi warna tersendiri kepada rasa terimakasih kita atas pengorbanan para pejuang kemerdekaan. Apakah Anda merasakan semangat yang sama?

Entah bagaimana dengan Anda, tapi semakin hari, saya merasakan bahwa semangat itu semakin memudar saja. Dihari gini, ’mengikuti upacara’ didepan pesawat televisi seolah sudah menjadi budaya baru cara kita mengenang kepahlawanan. Bahkan, mungkin semangat itu sudah sedemikian hambarnya sehingga Tanggal 17 Agustus tidak lebih dari sekedar sebuah tanggal merah belaka. Jadi, tidak heran jika kita menjadi mata rantai yang terputus dari sebuah proses pewarisan sejarah dan semangat itu dari generasi ke generasi. Betapa tidak? Kita tidak memberi kesempatan anak dan cucu kita untuk mencicipi sedikit dari semangat itu. Dan kita membiarkan mereka ’mengalami’ semangat itu hanya dengan membacanya dari buku-buku disekolah.

Tahun ini pengurus RW dan RT dilingkungan kami bersepakat untuk mengembalikan semangat itu lagi. Berkoordinasi dengan Kelurahan dan RW-RW lain melakukan peringatan kemerdekaan itu secara bersama-sama. Bukan melalui pesawat televisi sambil menyaksikan upacara dari istana merdeka. Melainkan melakukannya secara ’live’ dengan menggabungkan seluruh unsur masyarakat dan aparat pemerintahan. Kami bertekad bahwa mulai tahun ini; setiap peringatan 17 Agustus akan dilakukan secara bersama-sama, secara bergiliran. Dan sebagai penghargaan dari Pak Lurah, beliau memberikan kesempatan kepada RW kami untuk menjadi tuan Rumah Upacara bersama untuk pertama kalinya ini.

Maka, jadilah 17 Agustus tahun ini istimewa. Menghadirinya membuat saya kembali kepada masa-masa kecil dulu. Lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta kembali mengalun. Teks Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kembali dibacakan. Dan naskah proklamasi kembali dikumandangkan. Serta merta saja, bulu kuduk saya merinding. Seolah semangat kepahlawanan berhembus lembut terbawa angin menerpa hati kami yang sudah lama gersang.

Untuk sejenak, kami merasakan kembali makna kemerdekaan ini. Kemerdekaan yang didapat dengan banyak pengorbanan, dan jiwa kepahlawanan. Seolah-olah, kami diingatkan kembali bahwa merdeka, juga berarti membebaskan diri dari belenggu ketidakpedulian. Terutama, ketidakpedulian bahwa bangsa ini sesungguhnya sudah merdeka. Namun, karena kita tidak perduli, kita tidak benar-benar merasakan maknanya. Makna, bahwa kita ini sudah merdeka. Merdeka!

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Pernahkah anda memiliki sesuatu yang tidak anda sadari betapa pentingnya dia hingga anda kehilangan benda itu? Saya sering mengalami hal semacam itu. Misalnya, lampu senter. Ketika arus listrik mengalir lancar, saya sering tidak peduli pada keberadaan lampu senter itu. Namun, ketika lampu mati, saya kelimpungan mencari-cari dimana saya meletakkan benda kecil itu. Tiba-tiba saja saya merasakan betapa berharganya sebuah lampu senter. Dan betapa hidup saya bergantung kepadanya. Ketika seluruh ruangan dirumah saya menjadi gelap gulita, saya baru menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan sang lampu senter selama ini. Itu hanya soal lampu senter. Bayangkan seandainya itu menyangkut sesuatu yang sangat menentukan kelangsungan hidup kita? Misalnya pekerjaan yang kita miliki ini. Bukankah kita sering kurang menyadari betapa berharganya pekerjaan kita ini; sampai-sampai kita lebih sering mengeluh daripada mensyukurinya?



Beberapa waktu yang lalu saya mampir ke sebuah mal. Ada hal aneh di mal itu, namun saya tidak begitu yakin apa penyebabnya. Setelah cukup lama berkutat dengan rasa penasaran, akhirnya saya menemukan kejanggalan itu. Di Mal itu, ada beberapa outlet yang menghilang. Salah satunya adalah counter makanan kecil dimana saya biasa membeli kuaci untuk cemilan selagi menonton televisi. Ada outlet fashion yang berubah menjadi ruangan kosong melompong, sebuah restoran yang raib, dan space sebuah cafe yang tinggal setengahnya.



Untuk sejenak saya terpana. Membayangkan orang-orang yang beberapa hari lalu ada di mal ini untuk melayani pelanggan-pelanggan nya. Namun, hari ini mungkin mereka berada dirumah, tanpa tahu kapan akan kembali melakukan pekerjaannya lagi. Anda yang tidak pernah kehilangan pekerjaan mungkin tidak akan mampu membayangkan betapa beratnya itu. Tapi mereka yang mengalaminya, tahu persis bagaimana rasanya. Pertanyaannya adalah; apakah kita harus menunggu kehilangan terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menyadari betapa bernilainya pekerjaan kita ini?



Pengabaian kita terhadap pekerjaan memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan pengabaian kita kepada benda-benda kecil seperti lampu senter tadi. Mengapa? Karena kita seringkali menganggap bahwa ’kitalah sang pemilik’ pekerjaan itu. Oleh karena itu, sebagai pemilik kita merasa memiliki segala kewenangan untuk memperlakukan kepemilikan kita itu sesuka hati kita. Padahal, faktanya; ’kita bukanlah pemilik pekerjaan itu’. Perusahaan tempat kita bekerjalah yang memilikinya. Bukan kita. Buktinya, jika perusahaan ingin mengambil kembali pekerjaan yang kita pegang, maka kita dengan sukarela atau terpaksa mesti ’mengembalikan’ pekerjaan itu kepada perusahaan.



Jebakan rasa kepemilikan semu itu menimbulkan otoritas imitatif pada kebanyakan pekerja. Sehingga, mereka mengira boleh bersikap apapun terhadap pekerjaannya. Ya, namanya juga pemilik. Mau melakukan apapun semau-maunya juga boleh saja, bukan? Makanya, begitu banyak orang yang terlambat menyadari bahwa pekerjaannya benar-benar berharga, yaitu ketika mereka kehilangan pekerjaannya. Sebaliknya, ketika mereka masih ’memiliki’ pekerjaan itu, mereka cenderung mengabaikannya.



Salah satu ciri paling umum orang yang seperti itu adalah; mereka tidak sungguh-sungguh menuangkan seluruh potensi dan kapasitas dirinya untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam pekerjaannya. Mereka mengira bahwa dengan tidak menggunakan kapasitas dirinya itu, perusahaan yang akan rugi. Padahal, kerugian paling besar dialami oleh dirinya sendiri. Mengapa begitu? Ada 2 alasan. Pertama, dengan tidak mencurahkan seluruh potensi dirinya secara optimal akan memperkuat alasan bagi perusahaan untuk mencari orang lain yang bisa menggantikannya. Kedua, tidak mendayagunakan potensi diri sama artinya menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Bukankah Tuhan pun belum tentu suka kepada orang yang menyia-nyiakan anugerahNya?



Ciri lainnya adalah; rendahnya tingkat disiplin kerja mereka. Orang-orang yang percaya bahwa pekerjaannya berharga tidak mungkin mengabaikan disiplin diri dalam bekerja. Sebab, mereka tahu bahwa perusahaan bisa sewaktu-waktu mengambil pekerjaan itu darinya lalu diberikan kepada orang lain yang lebih bisa berdisiplin. Dengan kata lain, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mencegah hal itu tidak terjadi adalah; menunjukkan disiplin yang tinggi saat bekerja. Sebaliknya, orang-orang yang lupa betapa berharganya pekerjaannya sering menganggap bahwa disiplin mesti dijalankan jika dan hanya jika dia diawasi. Jika tidak ada yang mengawasi, mengapa mesti berdisiplin tinggi?



Padahal, disiplin adalah urusan pribadi. Karena, kedisiplinan berhubungan langsung dengan integritas diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas diri pasti akan menghargai pekerjaannya. Sehingga selama bekerja, dia akan bersungguh-sungguh, dan mengerahkan seluruh potensi dirinya. Untuk mencapai prestasi. Yang tinggi.

mari tetap semangat

I2 (Imagine Indonesia)

Ayo gabung di I2 (imagine Indonesia)

...tunjukkan padaku yang kamu sebut indonesia? Niscaya kamu hanya akan menunjuk tanda dan simbol belaka..." (kutipan status FB....hahahaha)


Ketika anda diminta menunjuk apa yang anda maksud dengan indonesia, apa yang akan anda tunjuk? Merah putih? Garuda? Pancasila? Orang Indonesia? Soekarno - Hatta? Atau sebuah petak dalam peta? Atau tulisan "Indonesia"? Begitulah. Setiap kali kita diminta menunjuk Indonesia maka kita akan menunjuk pada tanda atau simbol yang menggambarkan Indonesia. Karena Indonesia adalah imaji. Indonesia adalah ide. Kita yakini keberadaan indonesia tetapi tidak pernah bisa kita tunjuk. Indonesia ada dalam benak kita. Sebagaimana pandangan Ben Anderson, bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan.

Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai indonesia jauh lebih penting kesadaran subyektifitas setiap orang daripada kenyataan obyektif yang ada. Indonesia adalah sebentuk imaji yang kita sadari dengan segala pengalaman historis, harapan dan impian kita. Pengalaman berbeda akan membentuk indonesia yang berbeda. Keunikan harapan dan impian akan menentukan keunikan indonesia yang kita bayangkan. Kesadaran subyektif akan indonesia ini yang akan menentukan tindakan-tindakan kita terhadap indonesia. Imaji kita akan menginspirasi tindakan kita. Image inspire action.

Menengok sejarah, imaji mengenai indonesia telah lama ada jauh sebelum dunia mengenai negara kesatuan Republik Indonesia. Jauh sebelum proklamasi. Tan Malaka di awal abad 20, tanpa lelah mempromosikan sebentuk imaji "Repoeblik Indonesia" mulai dari jawa, sumatera, singapura, bahkan sampai hongkong dan rusia. Beberapa tahun kemudian ide tentang Indonesia Merdeka di cetuskan oleh Soekarno dan bergaung dalam dada banyak orang.

Pada saat itu, setiap orang dengan bebas mengimajinasikan dan mengimajinasikan kembali sebentuk indonesia. Bagi segelintir orang, ide indonesia adalah ide konyol. Tak heran mereka memilih berdiam diri atau malah menjadi aparat Belanda hingga ajal menjelang. Ada yang membayangkan ide indonesia sebagai sebuah janji tanah impian. Tak heran berduyun-duyun orang bergerak memperjuangkan kemerdekaan republik yang baru berumur beberapa hari.

Selama puluhan tahun kemudian, indonesia sebagai sebuah imaji diyakini dan diperjuangkan sebagai tatanan kehidupan bersama. Hidup bersama sebagai sebuah bangsa, bangsa indonesia. Lahir berbagai dialog yang mengkomunikasikan pemahaman akan tindakan-tindakan yang boleh, yang harus, dan mana yang tidak boleh.

Sepanjang perjalanan bangsa indonesia, ribuan bahkan jutaan imaji mengenai indonesia lahir. Ada yang mati. Ada yang hidup. Ada yang terus berkembang. Dinamika imaji ini adalah dinamika perjalanan bangsa indonesia.

Sampai suatu ketika, lahir dan bangkit sebuah rejim otoriter. Rejim yang menetapkan interpretasi tunggal atas indonesia. Di luar interpretasi itu, bukanlah indonesia. Entah dituduh sebagai kebarat-baratan. Atau bahkan dituduh sosialisme atau komunis. Imaji selain interpretasi tunggal di bunuh, sebagaimana nasib orang yang mengusung imaji tersebut.

Indonesia adalah milik kita semua. Milik dalam arti yang paling hakiki. Karena indonesia bukanlah emblem di jaket kita yang bisa di sobek sewaktu-waktu. Karena indonesia bukan pula stiker yang menempel di kendaraan kita yang bisa kita kelupas kapan saja. Karena indonesia bukanlah foto profil di Facebook kita yang bisa kita ganti semaunya. Indonesia adalah imaji yang kita imajinasikan dalam benak kita. Kita bisa imajinasikan indonesia sebagai tempat kumuh, dimana kita berusaha mengisolasi diri dan menutup hidung ketika berada di dalamnya. Kita bisa imajinasikan sebagai rumah nyaman, dimana kita akan kembali walau kemanapun langkah kita pergi. Apapun bisa kita imajinasikan. Walau kita sama-sama bangsa indonesia, kita menjalani keindonesiaan dengan penghayatan unik kita.


Lalu apa arti kemerdekaan sebagai sebuah imaji?
Silahkah klik di
http://appreciative organization. wordpress. com/
Facebook: imagine indonesia - i2
http://www.facebook .com/pages/ Imagine-Indonesi a-I2/11388241275 0
Ini ada ulasan dari kang Dadang

Mengapa Kemampuan Belajar Kita Menurun Drastis?



Salah satu kemunduran yang kita alami seiring dengan bertambahnya umur adalah; berkurangnya kemampuan kita dalam belajar. Kalau kita berusaha untuk menghafal sesuatu misalnya, hafalan kita hanya bertahan beberapa jam saja. Atau, paling lama dalam hitungan hari. Setelah itu, kita lupa lagi, seolah tidak pernah melewati proses menghafal tadi. Selama ini kita percaya bahwa menurunnya kemampuan kita dalam belajar ada kaitannya dengan penurunan kemampuan otak kita. Oleh karena itu, orang-orang dewasa seperti kita selalu mempunyai cukup alasan untuk diberi belas kasihan. Jadi, ”harap dimaklumi saja jika orang dewasa seperti kami ini agak ’telmi’”. Tetapi, apakah penurunan kemampuan kita dalam menyerap ilmu itu benar-benar disebabkan oleh penurunan kemampuan otak, ataukah karena kurangnya antusiasme kita dalam belajar?



Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam sebuah forum yang berkaitan dengan acara familiy gathering sebuah perusahaan. Tidak banyak waktu yang disediakan bagi saya. Hanya 45 menit saja. Namun, meski sangat singkat; sesi itu sangat spesial bagi saya. Sebab, audience yang hadir disana terdiri dari anak-anak, remaja hingga pimpinan puncak perusahaan. Berbicara diforum orang dewasa memang merupakan pekerjaan saya. Bagaimana dengan anak-anak? Itu juga bukan masalah, karena semasa kuliah dulu, saya ikut mengabdikan diri untuk menjadi mentor bagi anak-anak TK, SD, dan SMP di PAS-ITB. Not, that hard to deal with, actually. Tetapi...., masalahnya adalah; sekarang kedua tipe audience itu digabungkan dalam satu forum dimana saya harus menyampaikan pesan penting bagi semua. That’s quite a challenge.



Saya tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa anak-anak dalam forum yang saya fasilitasi itu begitu antusias dan cerdas. Mereka mengerumuni saya, serta menjawab pertanyaan-pertanya an yang saya lontarkan dengan penuh semangat. Dan cara mereka menjawab; bukan main, seolah mereka menggunakan semua energi yang dimilikinya. Mereka mengangkat tangan, melompat, dan berteriak. Tidak heran kalau pada usia seperti mereka, manusia bisa mencapai tingkat efisiensi proses belajar yang paling tinggi.



Sesaat setelah menyelesaikan sesi itu, saya kembali merenungkan satu hal, yaitu; betapa mengagumkannya semangat belajar anak-anak dalam forum itu. Dan menengok kembali kebelakang ketika saya masih menjadi pembina PAS-ITB dulu, saya kira; memang demikianlah adanya anak-anak. Mereka memiliki semangat belajar yang teramat sangat tinggi. Sampai-sampai, mereka membuntuti kemanapun saya pergi selama sesi itu.



Sampai disini, saya kembali tersadarkan, bahwa; kita para lelaki dan perempuan dewasa telah kehilangan antusiasme dalam belajar. Padahal, dahulu kala kita adalah little boys dan little girls yang pernah memiliki antusiasme itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita disampaikan sebuah pesan berisi pelajaran berharga dan nilai-nilai luhur; kita begitu bersemangatnya untuk menyerap seluruh ilmu itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita diajukan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu kita saling berebut untuk mengajukan diri, sambil mengangkat tangan dan terteriak; ”Saya Pak Guru! Saya Pak Guru!” seolah kita tengah berlomba dengan teman-teman agar dipilih sang guru untuk melakukan tugas didepan kelas. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu kita segera mengangkat tangan dan bertanya; ”Bu Guru, itu maksudnya apa?” tanpa khawatir ditertawakan oleh teman-teman sekelas.



Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana kita sering kehilangan gairah untuk menerima masukan yang berisi pelajaran-pelajaran berharga. Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita ditantang untuk melakukan sesuatu kita bersembunyi sambil menunjuk-nunjuk teman kita; ”kamu saja, kamu saja...” Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita tidak mengerti sesuatu kita memendamnya dalam hati seolah terbebani oleh stigma orang lain, bahwa; ”Jika bertanya, maka kita menunjukkan betapa bodohnya kita”. Padahal, kita tahu bahwa kebodohan itu sangat memalukan. Jadi, kita memilih untuk berpura-pura tahu; daripada menanggung resiko dikira bodoh.



Oleh karena itu, tidak heran jika semakin tua; semakin berkurang kemampuan kita dalam belajar dan mengambil hikmah. Padahal, hikmah dan pelajaran itu berserakan disekitar kita. Namun kita sudah kehilangan kemampuan untuk menerimanya. Mencernanya. Dan meresapinya. Tiba-tiba saja; saya merindukan masa-masa ketika saya masih kecil dulu. Masa dimana saya begitu bersemangatnya. Untuk. Mempelajari. Segala sesuatu.



Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman

Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator

http://www.dadangka darusman. com/

Talk Show setiap Jumat jam 06.30-07.30 di 103.4 DFM Radio Jakarta



Catatan Kaki:

Berkurangnya kemampuan kita dalam belajar dan menyerap ilmu tidak disebabkan oleh menurunnya kemampuan otak kita; melainkan oleh memburuknya sikap mental kita, ketika menjalani proses belajar itu.

Rabu, Maret 04, 2009

Ini orang yang ditakuti oleh anggota DPR, sampai sampai dia nggak boleh jadi calon president. Kenapa?

Ini orang yang ditakuti oleh anggota DPR, sampai sampai dia nggak boleh jadi calon president. Kenapa?

Abdurrahman Wahid (also known as Gus Dur) (born September 7, 1940) is an Indonesian Muslim religious and political leader who served as the President of Indonesia from 1999 to 2001. The long-time president of the Nahdlatul Ulama and the founder of the National Awakening Party (PKB), Wahid was the first elected president of Indonesia after the fall of the Suharto regime in 1998.
Contents
[hide]

* 1 Early life
* 2 Overseas education
* 3 Early career
* 4 Nahdlatul Ulama
o 4.1 Early involvement with NU
o 4.2 Reforming NU
o 4.3 Election to Chairmanship and first term as Chairman
o 4.4 Second term as Chairman and opposing the New Order
o 4.5 Third term as Chairman and the lead-up to Reformasi
* 5 Reformation
o 5.1 Formation of PKB and the Ciganjur statement
o 5.2 1999 elections and MPR General Session
* 6 Presidency
o 6.1 1999
o 6.2 2000
+ 6.2.1 Cabinet dismissals
+ 6.2.2 Aceh
+ 6.2.3 Possible lifting of the ban on Marxism-Leninism
+ 6.2.4 Relationship with TNI
+ 6.2.5 Buloggate and Bruneigate
+ 6.2.6 2000 MPR Annual Session and Cabinet reshuffle
+ 6.2.7 Regional unrest
+ 6.2.8 Gathering political opposition
o 6.3 2001 & removal from power
* 7 Post Presidency activities
o 7.1 Schism within the PKB
o 7.2 2004 Legislative and Presidential elections
o 7.3 Opposition to Yudhoyono Government
o 7.4 Other activities
o 7.5 Religious views
* 8 Personal life
* 9 External links
o 9.1 Interview on SBS Dateline
* 10 References
o 10.1 Notes
o 10.2 General

[edit] Early life

Abdurrahman Wahid was born on the fourth day of the eight month of the Islamic calendar in 1940 in Jombang, East Java to Wahid Hasyim and Solichah. This led to a belief that he was born on August 4, instead the calendar used to mark his birth date was the Islamic calendar meaning that he was actually born on 4 Sha'aban, equivalent to September 7, 1940.

He was the firstborn out of his five siblings, and Wahid was born into a very prestigious family in the East Java Muslim community. His paternal Grandfather, Hasyim Asyari was the founder of Nahdlatul Ulama (NU) while his maternal Grandfather, Bisri Syansuri was the first Muslim educator to introduce classes for women.[1] Wahid's father, Wahid Hasyim, was involved in the Nationalist Movement and would go on to be Indonesia's first Minister of Religious Affairs.

In 1944, Wahid moved from Jombang to Jakarta where his father was involved with the Consultative Council of Indonesian Muslims (Masyumi), an organization established by the Japanese Imperial Army which occupied Indonesia at the time. After the Indonesian Declaration of Independence on 17 August 1945, Wahid moved back to Jombang and remained there during the fight for independence from the Netherlands during the Indonesian National Revolution. At the end of the war in 1949, Wahid moved to Jakarta as his father had received appointment as Minister of Religious Affairs. Wahid went about his education in Jakarta, going to KRIS Primary School before moving to Matraman Perwari Primary School. In addition to education provided at school, Wahid was also encouraged to read non-Muslim books, magazines, and newspapers by his father to further broaden his horizons.[2] Wahid continued to stay in Jakarta with his family even after his father's removal as Minister of Religious Affairs in 1952. In April 1953, Wahid's father died after being involved in a car crash.

Wahid's education continued and in 1954, he began Junior High School. That year, he failed to graduate to the next year and was forced to repeat. His mother then made the decision to send Wahid to Yogyakarta to continue his education. In 1957, after graduating from Junior High School, Wahid moved to Magelang to begin Muslim Education at Pesantren (Muslim School) Tegalrejo. He developed a reputation as a gifted student, completing the pesantren's course in two years instead of four. In 1959, Wahid moved back to Jombang to Pesantren Tambakberas. There, while continuing his own education, Wahid also received his first job as a teacher and later on as headmaster of a madrasah affiliated with the Pesantren. Wahid also found employment as a journalist for magazines such as Horizon and Majalah Budaya Jaya.

[edit] Overseas education

In 1963, Wahid received a scholarship from the Ministry of Religious Affairs to study at Al Azhar University in Cairo, Egypt. He left for Egypt in November 1963. Despite his proficiency at speaking Arabic, Wahid was told by University officials when he arrived that he was to take a remedial class before taking on the University's Higher Institute for Islamic and Arabic studies. Unable to provide evidence to certify that he spoke Arabic, Wahid was forced to take the remedial class.

Instead of attending classes, Wahid spent 1964 enjoying life in Egypt; watching European and American movies as well indulging in his hobby of watching football. Wahid was also involved with the Association of Indonesian Students and became a journalist for the association' s magazine. At the end of the year, he successfully passed exams for his remedial Arabic classes. When he finally began studies at the Higher Institute for Islamic and Arabic Studies in 1965, Wahid was disappointed. He had already studied many of the texts offered at the Institute while he was in Java and disapproved of the rote learning method used by the University.[ 3]

In Egypt, Wahid found employment with the Indonesian Embassy. It was during his stint with the Embassy that G30S PKI happened. With Kostrad Commander, Major General Suharto taking control of the situation in Jakarta, a Communist crackdown was initiated. For its part, the Indonesian Embassy in Egypt was ordered to conduct an investigation on university students and give a report on their political stance. This order was then passed on to Wahid, who was charged with writing the reports.[4]

Wahid's time in Egypt was a failure. His displeasure at the method of education and his work post-G30S distracted him. By 1966, he was told that he had to repeat. Wahid's tertiary education was saved through another scholarship at the University of Baghdad. Wahid moved to Iraq and enjoyed his new environment. Although he was lax in attending classes at first, Wahid quickly took to his studies. Wahid also continued his involvement with the Association of Indonesian Students as well as writing journalistic pieces to be read in Indonesia.

After completing his education at the University of Baghdad in 1970, Wahid went to the Netherlands in the hopes of continuing his education. Wahid wanted to attend Leiden University but was disappointed as there was little recognition for the studies that he had done at the University of Baghdad. From Netherlands, Wahid went to Germany and France before going back to Indonesia in 1971.

[edit] Early career

Wahid returned to Jakarta expecting that in a year's time, he would be abroad again to study at McGill University in Canada. He kept himself busy by joining the Institute for Economic and Social Research, Education and Information (LP3ES),[5] an organization which consisted of intellectuals with progressive Muslims and social-democratic views. LP3ES established a magazine called Prisma and Wahid became one of the main contributors to the magazine. Whilst working as a contributor for LP3ES, Wahid also conducted tours to pesantrens and madrasahs all around Java. It was a time when pesantren were desperate to gain state funding by adopting state-endorsed curricula and Wahid was concerned that the traditional values of the pesantren were being damaged because of this change. Wahid was also concerned with the poverty of the pesantren which he saw during his tours. At the same time as they were encouraging pesantren to adopt state-endorsed curricula, the Government was also encouraging pesantren as agents for change and to help assist the Government in its economic development of Indonesia. It was at this time that Wahid finally decided to drop plans for overseas studies in favor of developing the pesantren.

Wahid continued his career as a journalist, writing for magazine Tempo and Kompas newspaper. His articles were well-received and he began to develop a reputation as a social commentator. Wahid's popularity was such that at this time, he was invited along to give lectures and seminars, forcing him to travel back and forth between Jakarta and Jombang, where he now lived with his family.

Despite having a successful career up to that point, Wahid still found it hard to make ends meet and he worked to earn extra income by selling peanuts and delivering ice to be used for his wife's Es Lilin business.[6] In 1974, Wahid found extra employment in Jombang as a Muslim Legal Studies teacher at Pesantren Tambakberas and soon developed a good reputation. A year later, Wahid added to his workload as a Teacher of Kitab Al Hikam, a classical text of sufism.

In 1977, Wahid joined the Hasyim Asyari University as Dean of the Faculty of Islamic Beliefs and Practices. Once again, Wahid excelled in his job and the University wanted to Wahid to teach extra subjects such as pedagogy, sharia, and missiology. However, his excellence caused some resentment from within the ranks of university and Wahid was blocked from teaching the subjects. Whilst undertaking all these ventures Wahid also regularly delivered speeches during ramadan to the Muslim community in Jombang.

[edit] Nahdlatul Ulama

[edit] Early involvement with NU

Wahid's family background meant that sooner or later, he would be asked to play an active role in the running of NU. This ran contrary to Wahid's aspirations of becoming a public intellectual and he had twice rejected offers to join the NU Religious Advisory Council. Nevertheless, Wahid finally chose to join the Council when his own grandfather, Bisri Syansuri gave him the third offer.[7] In taking this job, Wahid also made the decision to move from Jombang to Jakarta and to permanently reside there. As a member of the Religious Advisory Council, Wahid envisioned himself as a reformer of NU.

At this time, Wahid also had his first political experience. In the lead-up to the 1982 Legislative Elections, Wahid campaigned for the United Development Party (PPP), an Islamist Party which was formed as a result of a merger of 4 Islamist parties including NU. Wahid recalled that the Government actively disrupted PPP's campaigns by arresting people like himself.[8] However, Wahid was always able to secure his release, having developed connections in high places with the likes of General Benny Moerdani.

[edit] Reforming NU

By this time, many viewed NU as an organization in stagnation. After careful discussion, the Religious Advisory Council finally formed a Team of Seven (which included Wahid) to tackle the issues of reform and to help revitalize NU. For some members of NU, reform in the organization involved a change of leadership. On 2 May 1982, a group of high-ranking NU officials met with NU Chairman Idham Chalid and asked for his resignation. Idham, who had guided NU in the transition from Sukarno to Suharto resisted at first but bowed down to pressure. On 6 May 1982, Wahid heard of Idham's decision to resign and approached him saying that the demands to resign were unconstitutional. With urging from Wahid, Idham withdrew his resignation and Wahid, together with the Team of Seven was able to negotiate a compromise between Idham and those who had asked for his resignation. [9]

In 1983, Suharto was re-elected to a fourth term as President by the People's Consultative Assembly (MPR) and began taking steps to establish Pancasila as the State Ideology. From June 1983 to October 1983, Wahid became part of a team which was commissioned to prepare NU's response to this issue. Wahid consulted texts such as the Quran and Sunnah for justification and finally, in October 1983, concluded that NU should accept Pancasila as the State Ideology.[10] To further revitalize NU, Wahid was also successful in securing its withdrawal from PPP and Party politics. This was done so that, NU can focus on social matters instead of hampering itself by being involved in politics.

[edit] Election to Chairmanship and first term as Chairman

Wahid's reforms had made him extremely popular within the ranks of NU. By the time of the 1984 National Congress, many began to state their intentions to nominate Wahid as the new Chairman of NU. Wahid accepted the nomination, provided that he had the power to choose who would be on his leadership team. Wahid was elected as the new Chairman of NU during the National Congress. However, his stipulation of choosing his own team was not honored. The last day of the Congress had begun with Wahid's list of team members being approved by high-ranking NU officials including outgoing Chairman Idham. Wahid had gone to the Committee in charge of running the Congress and handed in his list which was to be announced later. However, the Committee in question was against Idham and announced a totally different list of people. Wahid was outraged but was pressured to accept the changes made.[11]

Wahid's ascendancy to the NU Chairmanship was seen positively by Suharto and his New Order regime. Wahid's acceptance of Pancasila along with his moderate image won him favor among Government ranks. In 1985, Suharto made Wahid a Pancasila indoctrinator. [12] In 1987, Wahid showed further support for the regime by criticizing PPP in the lead-up to the 1987 Legislative Elections and further strengthening Suharto's Golkar Party. His reward came in the form of a membership of the MPR. Although he was viewed with favor by the regime, Wahid criticised the Government over the Kedung Ombo Dam project that was funded by the World Bank. Although this somewhat soured the cordial relationships that Wahid had with the Government, Suharto was still keen on getting political support from NU.

During his 1st term as Chairman of NU, Wahid focused on reform of the pesantren education system and was successful in increasing the quality of pesantren education system so that it can match up with secular schools.[13] In 1987, Wahid also set up study groups in Probolinggo, East Java to provide a forum for like-minded individuals within NU to discuss and provide interpretations to Muslim texts.[14] Critics accused Wahid of wishing to replace the Arabic Muslim greeting of "assalamualaikum" with the secular greeting of "selamat pagi", which means good morning in Indonesian.

[edit] Second term as Chairman and opposing the New Order

Wahid was re-elected to a second term as Chairman of NU at the 1989 National Congress. By this time, Suharto, embroiled in a political battle with ABRI began to ingratiate himself with the Muslim constituency so as to win their support. This venture reached a turning point in December 1990 with the formation of the Union of Indonesian Intellectual Muslims (ICMI). This organization was backed by Suharto, Chaired by BJ Habibie and included Muslim intellectuals such as Amien Rais and Nurcholish Madjid as its members. In 1991, various members of ICMI asked Wahid to join. Wahid declined because he thought that ICMI encouraged sectarianism and that it was just a means by Suharto to remain powerful.[15] In 1991, Wahid countered ICMI by forming the Democracy Forum, an organization which contained of 45 intellectuals from various religious and social communities. The organization was treated with credibility by the Government and broke up meetings held by the Democracy Forum as the 1992 Legislative Elections approached.

In March 1992, Wahid planned to have a Great Assembly to celebrate the 66th anniversary of the founding of NU and to reiterate the organization' s support for Pancasila. Wahid had planned for the event to be attended by at least one million NU members. However, Suharto moved to block the event, ordering policemen to turn back busloads of NU members as they arrived in Jakarta. Nevertheless, the event managed to attract 200,000 attendants. After the event, Wahid wrote a letter of protest to Suharto saying that NU had not been given a chance to display a brand of Islam that is open, fair, and tolerant.[16] During his second term as Chairman of NU, Wahid's liberal ideas had begun to turn many supporters sour. As Chairman, Wahid continued to push for inter-faith dialogue and even accepted an invitation to visit Israel in October 1994.[17]

[edit] Third term as Chairman and the lead-up to Reformasi

As the 1994 National Congress approached, Wahid nominated himself for a 3rd term as Chairman. Hearing this, Suharto wanted to make sure that Wahid was not elected. In the weeks leading up to the Congress, Suharto's supporters, such as Habibie and Harmoko campaigned against Wahid's re-election. When it came time for the National Congress, the site for the Congress was tightly guarded by ABRI in act of intimidation. [18] Despite this, and attempts to bribe NU members to vote against him, Wahid came through and was re-elected as NU Chairman for a 3rd term. During this term, Wahid began to move closer towards a political alliance with Megawati Sukarnoputri from the Indonesian Democratic Party (PDI). Megawati, using her father's name had a lot of popularity and planned to keep the pressure up on Suharto's regime. Wahid advised Megawati to be cautious and to reject being nominated as President for the 1998 MPR General Session. Megawati ignored this and paid the price in July 1996 when her PDI headquarters were taken over by supporters of Government-backed PDI Chairman, Suryadi.

Seeing what happened to Megawati, Wahid thought that his best option now was to retreat politically by getting himself back in favor with the Government. In November 1996, Wahid and Suharto met for the first time since Wahid's re-election to the NU Chairmanship and this was followed over the next few months by meetings with various Government people who in 1994 had attempted to block Wahid's re-election. [19] At the same time however, Wahid kept his options for reform open and in December 1996, had a meeting with Amien Rais, an ICMI member who had grown critical of the Regime.

July 1997 saw the beginning of the Asian Financial Crisis. Suharto began to lose control of the situation and just as he was being pushed to step up the reform movement with Megawati and Amien, Wahid came down with a stroke in January 1998. From his bed in the hospital, Wahid continued to see the situation worsen with Suharto's re-election to a 7th term as President and the student protests which would turn into riots in May 1998 after the shooting of six students at Trisakti University. On 19 May 1998, Wahid, together with eight prominent leaders from the Muslim community were summoned to Suharto's residence. Suharto presented the concept of a Reform Committee which he had begun to propose at the time. All nine rejected Suharto's offer to join the Reform Committee. Wahid maintained a more moderate stance with Suharto and called on the protesting to stop to see if Suharto was going to implement his promise.[20] This displeased Amien who was the most vocal out of Suharto's opposition at this time. Nevertheless, there was no stopping Suharto's fall and on 21 May 1998, he announced his resignation. Vice President Habibie now ascended to the Presidency.

[edit] Reformation

[edit] Formation of PKB and the Ciganjur statement

One of the immediate effects of Suharto's fall was the formation of new political parties. Under Suharto's regime, political parties had been limited to just three; Golkar, PPP, and PDI. Now with his fall, new political parties were formed, the most prominent of which was Amien's National Mandate Party (PAN) and Megawati's Indonesian Democratic Party-Struggle (PDI-P). In June 1998, many from within the NU community began pressuring Wahid to form a new political party. Wahid did not warm up to the idea immediately, thinking that this will result in a political party which only catered to one religion and not willing to overrule his own decision to take NU out of politics. By July 1998 however, he began to warm up to the idea, thinking that establishing a political party was the only way to challenge the organizationally strong Golkar in an election. With that in mind, Wahid approved of the formation of PKB and became the Chairman of its Advisory Council with Matori Abdul Djalil as Party Chairman. Although it was clearly dominated by NU members, Wahid promoted PKB as a party that is non-sectarian and open to all members of society.

As opposition to the Government, Wahid, together with Megawati and Amien were willing to adopt a moderate stance towards Habibie's Government; preferring instead to wait for the 1999 Legislative Elections.[21] Nevertheless, in November 1998, in a meeting at his residence in the Jakarta suburb of Ciganjur, Wahid, together with Megawati, Amien, and Sultan Hamengkubuwono X reiterated their commitment to Reform. On 7 February 1999, PKB officially declared Wahid as their Presidential candidate.

[edit] 1999 elections and MPR General Session

In June 1999, Wahid's PKB entered the Legislative Elections. PKB won 12% of the votes with Megawati's PDI-P winning the Legislative Elections with 33% of the votes. With her party decisively winning the Legislative Elections, Megawati expected to win the Presidency against Habibie at the MPR General Session. However, PDI-P did not have complete majority and formed a loose alliance with PKB. In July however, Amien Rais would form the Central Axis, a coalition of Muslim parties.[22] The Central Axis then began to consider nominating Wahid as a third candidate in the Presidential race and PKB's commitment towards PDI-P began to waver.

In October 1999, the MPR convened and Wahid threw his support behind Amien who was elected as the Chairman of MPR. On 7 October 1999, Amien and the Central Axis, who now had PKB on their side, officially nominated Wahid as a Presidential Candidate.[23] On 19 October 1999, the MPR rejected Habibie's accountability speech and Habibie withdrew himself from the Presidential race. In the hours that followed, Akbar Tanjung, Chairman of Golkar and Head of the People's Representative Council (DPR) made it clear that Golkar would support Wahid in his bid for the Presidency. On 20 October 1999, the MPR convened and began electing for a new President. Wahid was then elected as Indonesia's 4th President with 373 votes to Megawati's 313 votes.[24]

Displeased that their candidate had not won the Presidency, Megawati's supporters began to riot and Wahid realized that for this to stop, Megawati had to be elected as Vice President. After convincing General Wiranto not to compete in the Vice Presidential elections and getting the PKB to support Megawati for this election, Wahid was successful in convincing the demoralized Megawati to compete. On the 21 October 1999, Megawati competed in the Vice Presidential election and defeated PPP's Hamzah Haz to become the next Vice President.

[edit] Presidency
Main article: Post-Suharto Era

[edit] 1999

Wahid's first Cabinet, dubbed the National Unity Cabinet, was a Coalition Cabinet which consisted of members of various political parties. PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, and Justice Party (PK). Non-partisans and the TNI (Formerly known as ABRI) were also represented in the Cabinet. Wahid then went on to make two administrative reforms. The first administrative reform was to abolish the Ministry of Information, the Suharto's regime main weapon in controlling the media while the second administrative reform was to disband the Ministry of Welfare which had become corrupt and extortionist under the Suharto regime [25].

In November, Wahid made his first overseas trip, visiting ASEAN member countries, Japan, United States of America, Qatar, Kuwait, and Jordan. He followed this up in December by a visit to the People's Republic of China. [26]

After only a month in the National Unity Cabinet, Coordinating Minister of People's Welfare Hamzah Haz announced his resignation in November. There was suspicion that the resignation was brought about by Wahid's allegation that certain members of his Cabinet were involved in corruption while he was still in America [27]. Others suggested that Hamzah's resignation was because of displeasure towards Wahid's concilliatory stance towards Israel [28].

Wahid's plan in Aceh was to give it a referendum. However, this referendum would be to decide on various modes of autonomy rather than to decide on independence like in East Timor. Wahid also wanted to adopt a softer stance towards Aceh by having less military personnel on the ground. On 30th December, Wahid visited Jayapura in the Province which was then known as Irian Jaya. During his visit, Wahid was successful in convincing West Papuan leaders that he was a force for change and even encouraged the use of the name Papua [29].

[edit] 2000

In January, Wahid made another overseas trip to Switzerland to attend the World Economic Forum and visited Saudi Arabia on the way back to Indonesia. In February, Wahid made another trip to Europe visiting the United Kingdom, France, Netherlands, Germany, and Italy. On the way back to Europe, Wahid also visited India, South Korea, Thailand, and Brunei. March saw Wahid visit East Timor. In April, Wahid visited South Africa en route to the G-77 summit in Cuba before returning via Mexico City and Hong Kong. In June, Wahid once again visited America, Japan, and France with Iran, Pakistan, and Egypt as the new additions to the list of countries which he had visited.[30]

[edit] Cabinet dismissals

While he was travelling to Europe in February, Wahid began asking for the resignation of General Wiranto, who held the position of Coordinating Minister of Politics and Security. Wahid saw Wiranto both as an obstacle to his planned reform of the Military as well as being a liability to his Government with his alleged human rights abuses in East Timor [31]. When Wahid arrived back in Jakarta, Wiranto talked to him and seemed successful in convincing Wahid not to replace him. However, Wahid would change his mind and ask for his resignation. In April 2000, Wahid dismissed Minister of Industry and Trade Jusuf Kalla and Minister of State Owned Enterprises Laksamana Sukardi. The explanation that he gave was that the two were involved in corruption, although he never gave evidence to back it up [32]. This move soured Wahid's relations with Golkar and PDI-P.

[edit] Aceh

In March, Wahid's Government began to open negotiations with the Free Aceh Movement (GAM). Two months later, in May, the Government signed a memorandum of understanding with GAM to last until the beginning of 2001, by which time both signatories would have breached the agreement [33].

[edit] Possible lifting of the ban on Marxism-Leninism

Also during the month of March, Wahid caused a lot of stir by suggesting that the 1966 Provisional People's Consultative Assembly (MPRS) resolution on the banning of Marxism-Leninism be lifted [34]. Out of the members of Government, only PKB supported the suggestion. The suggestion never amounted to anything, however it caused leftist intellectual activities to start to blossom. After having been harshly suppressed by the New Order for more than three decades, socialist and Marxist books, Che Guevara posters, and leftist intellectual communities and groups flourished widely.

[edit] Relationship with TNI

When he ascended to the Presidency, one of Wahid's goals was to reform the military and to take it out of its dominant socio-political role. In this venture, Wahid found an ally in Agus Wirahadikusumah who he made Commander of Kostrad in March. In July, Agus began uncovering a scandal involving Dharma Putra, a foundation with affiliations to Kostrad. Through Megawati, TNI members began pressuring Wahid to remove Agus. Wahid gave in to the pressure but then planned to have Agus appointed as the Army Chief of Staff to which TNI top brass responded by threatening to retire and Wahid once again bowed down to pressure [35].

Wahid's relationship with the TNI deteriorated even further when in July it was revealed that Laskar Jihad had arrived in Maluku and was being armed by the TNI. Laskar Jihad, a radical Islamic militia had earlier in the year planned to go to Maluku and assist Muslims there in their communal conflict with the Christians. Wahid had ordered TNI to block Laskar Jihad from going to Maluku, but nevertheless they still made it to Maluku and they were then being armed with what turned out to be TNI weapons [36].

[edit] Buloggate and Bruneigate

2000 saw Wahid embroiled in two scandals which would damage his Presidency. In May, the State Logistics Agency (BULOG) reported that US$4 Million were missing from its cash reserve. The missing cash was then attributed to Wahid's own masseur who had claimed that Wahid sent him to Bulog to collect the cash [37]. Although the money was returned, Wahid's opponents took the chance of accusing him of being involved in the scandal and of being aware of what his masseur was up to. At the same time, Wahid was also accused of keeping US$2 Million for himself. The money was a donation by the Sultan of Brunei to provide assistance in Aceh. However, Wahid failed to account for the money.

[edit] 2000 MPR Annual Session and Cabinet reshuffle

As the 2000 MPR Annual Session approached, Wahid's popularity with the people were still at a high and politically, allies such as Megawati, Akbar, and Amien were still willing to support Wahid despite the sacking of the ministers and the scandals which he had been involved in. At the same time however, they were asking questions of Wahid. At the 2000 MPR Annual Session, Wahid delivered a speech which was well received by a majority of the MPR members. During the speech, Wahid recognized his weakness as an administrator and said that he was going to delegate the day-to-day running of the Government to a Senior Minister [38]. The MPR members agreed but proposed that Megawati should be the one to receive the task from the President. At first the MPR planned to have this proposal adopted as a resolution but a Presidential Decision was seen as enough. On the 23rd August, Wahid announced a new Cabinet despite Megawati's insistence that the announcement was delayed. Megawati showed her displeasure by not showing up for the Cabinet announcement. The new Cabinet was smaller and consisted of more non-partisans. There were no Golkar members in this Cabinet.

[edit] Regional unrest

In September, Wahid declared martial law in Maluku as the condition there continued to deteriorate. By now, it was evident that Laskar Jihad were being assisted by TNI members and it was also apparent that they were financed by Fuad Bawazier, the last Minister of Finance to have served under Suharto. During the same month, the West Papuans raised their Morning Star flag. Wahid's response was to allow the West Papuans to do this provided that the Morning Star flag was placed lower than the Indonesian flag [39] For this, he was severely criticized by Megawati and Akbar. On 24th December 2000, there was Terrorist Attack directed against churches in Jakarta and in eight cities across Indonesia.

[edit] Gathering political opposition

By the end of 2000, there were many within the political elite who were disillusioned with Wahid. The most obvious person who showed this disillusion was Amien who showed regret at supporting Wahid to the Presidency the previous year. Amien also attempted to rally opposition by encouraging Megawati and Akbar to flex their political muscles. Megawati surprisingly defended Wahid whilst Akbar preferred to wait for the 2004 Legislative Elections. At the end of November, 151 DPR members signed a petition calling for the impeachment of Wahid [40].

[edit] 2001 & removal from power

In January, Wahid made the announcement that Chinese New Year was to become an optional holiday [41]. Wahid followed this up in February by lifting the ban on the display of Chinese characters and the importations of Chinese publication. In February, Wahid visited Northern Africa as well as Saudi Arabia to undertake the hajj pilgrimage [42]. Wahid made his last overseas visit in June 2001 when he visited Australia.

At meeting with university rectors on 27th January 2001, Wahid commented on the possibility of Indonesia descending into anarchy. Wahid then made the suggestion that he may be forced to dissolve the DPR if that happened [43]. Although the meeting was off-the-record, it caused quite a stir and added to the fuel of the movement against him. On 1st February, the DPR met to issue a memorandum against Wahid. Two memorandums constitutes an MPR Special Session where the impeachment and removal of a President would be legal. The vote was overwhelmingly for the memorandum and PKB members could only walk out in protest. The memorandum caused widespread protests by NU members. In East Java, NU members went around to Golkar's regional offices and thrashed it. In Jakarta, Wahid's opposition began accusing him of encouraging the protests. Wahid denied it and went to talk to the protesters at the town of Pasuruan; encouraging them to get off the streets [44]. Nevertheless, NU protesters continued to show their support for Wahid and in April, made the announcement that they were ready to defend and die for the President.

In March, Wahid tried to counter the opposition by moving against dissidents within his own Cabinet. Minister of Justice Yusril Ihza Mahendra was removed for making public his demands for the President's resignation while Minister of Forestry Nurmahmudi Ismail was also removed under the suspicion of chanelling his department's funds to Wahid's opposition. In response to this, Megawati began to distance herself and did not show up for the inauguration of the Ministers' replacement. On 30th April, the DPR issued a second memorandum and on the next day called for an MPR Special Session to be held on 1st August.

By July, Wahid grew desperate and ordered Susilo Bambang Yudhoyono, the Coordinating Minister for Politics and Security to declare a State of Emergency. Yudhoyono refused and Wahid removed him from his position. Finally on 20th July, Amien declared that the MPR Special Session will be brought forward to 23rd July. TNI, having had a bad relationship with Wahid through his tenure as President, stationed 40,000 troops in Jakarta and placed tanks with their turrets pointing at the Presidential Palace in a show of force [45]. On 23rd July, the MPR unanimously voted to impeach Wahid and to replace him with Megawati as President. Wahid continued to insist that he was the President and stayed for some days in the Presidential Palace, but eventually left the residence on 25th July for a trip overseas to the United States for health treatments.

[edit] Post Presidency activities

[edit] Schism within the PKB

After his impeachment, Wahid turned his eyes to Matori Abdul Djalil, who was the Chairman of PKB. Before the MPR Special Session, it was agreed upon that no PKB members would attend as a sign of solidarity. However, Matori insisted on attending because he was a Vice-Chairman of the MPR and participated in the impeachment process. Using his position as Chairman of the Advisory Council, Wahid sacked Matori as Chairman of PKB on 15 August 2001 and suspended him from Party activities before stripping Matori of Party membership in November [46]. On 14 January 2002, Matori held a Special National Congress attended by his supporters in PKB. The Special National Congress re-elected him to the position of PKB Chairman. Wahid countered this by holding his own PKB National Congress on 17 January, a day after Matori's Congress ended [47] The National Congress re-elected Wahid to the position of Chairman of the Advisory Council and elected Alwi Shihab as its Chairman. Wahid's PKB would be known as PKB Kuningan whilst Matori's PKB would be known as PKB Batutulis.

[edit] 2004 Legislative and Presidential elections

In April 2004, PKB participated in the 2004 Legislative Elections, winning 10.6% of the votes. For the 2004 Presidential Elections, in which the people will directly elect the President, PKB nominated Wahid as a Presidential Candidate. As a Presidential Candidate was required Wahid to go on a medical check-up before he is officially enlisted by the General Elections Commission (KPU) as a Presidential candidate. While other candidates such as Yudhoyono and Wiranto passed their respective tests, Wahid failed to do so and KPU refused to enlist him as a Presidential Candidate. Wahid then threw his support behind his brother, Solahuddin, who was the running mate of Wiranto. On 5 July 2004, Wiranto and Solahuddin were knocked out of the race after coming third to the pairs of Yudhoyono-Kalla and Megawati-Muzadi. For the run-off elections, held on 20 September 2004, Wahid declared himself as part of White Group (Golput) which meant that he will not be using his right to vote.

[edit] Opposition to Yudhoyono Government

In August 2005, Wahid became one of the leaders of a political coalition called the United Awakened Archipelago (Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu). Along with Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, and Megawati, this coalition criticized the policies of the Yudhoyono Government, specifically about the withdrawal of fuel subsidies which will bring the prices of fuel up.

[edit] Other activities

Gus Dur is the inspiration behind the Wahid Institute, a Jakarta-based nonprofit organization led by his daughter Yenni Wahid. He also serves as patron, member of the board of directors and senior advisor to LibForAll ("Liberty for All") Foundation, whose mission is to reduce religious extremism and discredit terrorism worldwide. Among numerous other writings, he is the author of a seminal article published in the Wall Street Journal on December 30th, 2005 ("Right Islam vs. Wrong Islam") [48] in which he called on "people of good will of every faith and nation" to unite to defeat the ideology of religious hatred that underlies and animates terrorism. Wahid discussed his suspicions regarding the involvement of the Indonesian government and the TNI (Indonesia's armed forces) in the terrorist bombings on Bali, in an interview in the documentary Inside Indonesia's War on Terrorism which as aired by SBS Dateline on October 12, 2005.

In September 2006, Wahid said that he was ready to contest the 2009 Presidential Election [49] He confirmed this in March 2008, at a rally of his National Awakening Party (PKB) in Banjarmasin, South Kalimantan.[ 50] Gus Dur and Justice Sandra Day O’Connor, former Justice of the US Supreme Court stated their concerns about recent developments in Malaysia that seem aimed at defaming opposition leader Anwar Ibrahim and threatening him with imprisonment in a manner which is reminiscent of the campaign to defame him in 1998. They stated there are plausible motives for some to manufacture a false case against him. They also mentioned that Anwar last year brought evidence to a royal commission that enabled it to conclude that there had been improper influence exerted on judicial appointments and more recently he brought forward evidence against the current attorney-general and the current inspector-general of police for the perversion of justice in his own prosecution in 1998-99.[51]

[edit] Religious views

Wahid said:

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple ... but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.[52]

[edit] Personal life

Wahid is married to Sinta Nuriyah and has four daughters: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, and Inayah Wulandari.

Orang yang selalu beruntung ?

Rekan- rekan nih ada pengetahuan bagus dari milis OCHA nih lihat ya...!!!

Salam
Lucky

Orang yang selalu beruntung ?
Caranya gimana?

Pernah tahu atau kenal orang yang selaluuuu saja beruntung? Hampir tidak pernah
bernasib sial, seakan-akan dewi fortuna mengiringi tiap langkah si Untung itu.

Tapi tahukah anda, kalau anda pun bisa jadi si Untung?

Caranya? Kenali dan lakukan kebiasaaan si Untung daaannn... anda pun akan
mengalami keberuntungan yang sama. Kebiasaan tersebut antara lain:

1. Harus selalu fokus. Definisikan tujuan Anda dengan jelas dan sangat rinci
hingga seperti sudah menjadi kenyataan. Tetap berpegang terhadap tujuan itu
sangat penting, janganlah terpengaruh oleh masalah2 yang mungkin timbul.

2. Selalu terbuka dan haus akan ilmu serta informasi. Dengan demikian, anda
akan selalu siap terhadap berbagai kondisi dan cepat tanggap melihat peluang
yang muncul. Saat suatu peluang tiba-tiba muncul, anda dapat mengenali
potensinya sekaligus memanfaatkannya.

3. Tetap semangat. Ketika dihadapkan dengan tantangan, hambatan atau bahkan
kegagalan, anda harus tetap semangat. Coba pendekatan yang berbeda, cara baru,
dan kembali mencoba lagi.

4. Selalu mencari solusi. Anda harus bisa melihat "gelas setengah penuh" bukan
“setengah kosong” karena itulah tipe orang yang selalu dapat melihat sisi
positif dari setiap situasi. Jangan meributkan dan mencari siapa penyebab
masalah tapi langsung mencari solusi sebagai jalan keluar.

5. Menjauh dari orang-orang yang pesimis. Seringkali kita mendengar perkataan
“udah deh, jangan berharap terlalu banyak” atau “Ya.. terima aja kamu mampunya
cuma segitu”. Orang-orang pesimis seperti ini tidak usah diambil hati, karena
ucapan-ucapan mereka adalah cerminan ketidakmampuan mereka sendiri. Jadikan
semua itu sebagai motivator atau penambah semangat anda untuk sukses dan
membuktikan bahwa mereka semua salah besar!

Yup, that’s it! Cuma 5 kebiasaan aja, gak banyak kan? Segera lakukan dengan
konsisten dan jadilah Mr. Untung yang selalu sukses!

Tetap Semangat!!

Rosa S Rustam (Ocha)
biz-and-career-only-at
http://www.dexton.adexindo.com