Kamis, Agustus 20, 2009

Kalau Hanya Ada Satu Pemenang – Mengapa Kita Ikut Bertanding?

Nih q ada artikel bagus baca ya?

Salah satu alasan mengapa kita memiliki frase ‘kalah sebelum bertanding’ adalah karena pada kenyataannya begitu banyak orang yang enggan untuk ikut dalam pertandingan menyusuri hidup. Hanya karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menjadi pemenang. Jika hidup kita adalah soal kalah dan menang, mungkin cara berpikir itu bisa diterapkan. Namun, pada kenyataannya hidup kita tidak selamanya tentang kalah dan menang. Memang, ada kalanya kita harus terlibat dalam permainan seperti itu. Jika kita tidak mengalahkan orang lain, maka orang lain akan mengalahkan kita; dan kita menjadi pecundang. Namun, sebagian besar kegiatan dalam hidup kita bukan soal itu. Melainkan soal; bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak situasi; ‘menjalani’ hidup itu lebih penting daripada hasil akhirnya.

Anda tentu masih ingat sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki lugu yang tengah duduk diteras sebuah kedai dipinggir jalan. Ketika mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya, dia terperangah, karena tiba-biba saja ada segerombolan orang yang berlarian. Ia lalu bertanya kepada pelayan;”Kenapa sih orang-orang itu pada berlarian begitu?” Sang pelayan menjawab:”Ini perlombaan lari marathon, Tuan.” Ia tersenyum dengan ramah, kemudian melanjutkan:”Pemenangnya akan mendapatkan sebuah piala.” Katanya. Lalu lelaki itu berkata;”Kalau hanya pemenangnya yang mendapatkan piala, kenapa orang-orang yang lainnya juga pada ikut berlari…?”

Kemungkinan besar, didunia nyata tidak ada manusia yang cukup lugu untuk melakukan dialog seperti itu. Setidak-tidaknya dalam konteks ‘lomba lari marathon’. Kita semua tahu bahwa pemenang lomba lari marathon hanya satu orang. Atau paling banyak 3 orang. Jika panitia berbaik hati menyediakan hadiah sampai juara harapan ketiga seperti ketika kita sekolah di TK dulu, maka jumlah pemenangnya paling banyak ada 6 orang. Tetapi, kita tidak cukup bodoh untuk mempertanyakan;”Mengapa ratusan orang lainnya ikut berlari juga?” Tetapi, mari cermati kehidupan sehari-hari kita. Secara tidak langsung kita sering mengajukan pertanyaan naif seperti itu. Kita begitu seringnya bertanya; kenapa orang kecil seperti kita mesti kerja habis-habisan? Paling hasilnya cuma segitu-gitu juga.

Ketika masih disekolah menengah dulu, saya beberapa kali mengikuti 10K Marathon Competition. Dalam perlombaan itu, selalu saja ada atlet profesional dari pelatda yang ikut serta. Tapi, jumlah mereka tidak banyak. Sedangkan, ratusan peserta lainnya adalah mereka yang paling banter hanya berolah raga seminggu sekali saja, termasuk saya dengan tubuh kerempeng dan napas yang pas-pasan ini. Bahkan ada juga peserta yang sudah lanjut usia. Nyaris tidak mungkin kami bisa menang. Kami semua mengetahui hal itu. Tapi, mengapa kami tetap ikut perlombaan itu? “Ya, kenapa Kakek mengikuti perlombaan ini?” Anda boleh bertanya begitu kepada si Kakek veteran perang kemerdekaan yang ngotot mau ikut perlombaan. Dan dia akan menjawab: “Kakek mah, yang penting sehat, cucu. Tidak apa-apa menang juga. Yang penting sehat….” Alah, yang penting sehat, kata si Kakek.

Kalau anda tanyakan itu kepada orang dewasa lainnya, mereka akan menjawab: “Demi kesehatan, Mas. Kita perlu berolah raga. Kalau menang syukur. Tidak juga yah, tidak apa-apalah. Yang penting sehat.” Sedangkan, gadis-gadis remaja berusia belasan tahun akan menjawab:”Tau deh, Mas. Pokoknya seru ajjah. Bisa ketemuan sama teman-teman.” Dan dari para lelaki kecil yang sedang puber seperti saya waktu itu, mungkin anda akan mendengar:”Asyik Mas. Banyak cewek kece yang ikutan….” Pendek kata, ada begitu banyak alasan mengapa orang ikut serta dalam perlombaan lari marathon itu; meskipun mereka tahu tidak akan menang. Dan diakhir pertandingan, kita selalu bisa menemukan senyum kepuasan disetiap wajah yang mengikuti perlombaan. Ketika sang atlet pelatnas naik pentas untuk menerima tabanas; setiap orang ikut merasa puas. Tidak ada iri dihati ini. Sebab, dari awal pun kita sudah tahu bahwa hadiah tabanas dan piala itu bukan untuk kita.

Kita mempunyai bagian masing-masing dalam perlombaan itu. Sang Kakek, mendapatkan kesempatan untuk berolah raga dengan gembira demi kesehatannya. Para pemuda senang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Para remaja gembira karena bertemu dengan rekan-rekan seusianya. Sambil ngeceng satu sama lain. Dan tampaknya, semua orang mendapatkan kemenangannya masing-masing. Kecuali orang-orang yang memilih tidur dibawah selimut. Dan mereka yang hanya nongkrong dipinggir jalan yang dilewati para pelari.

Lomba lari marathon mungkin sudah bukan olah raga populer lagi dijaman ini. Tetapi, esensinya masih tetap ada hingga kini. Kehidupan kita, tidak ubahnya seperti perlombaan lari marathon itu. Ada sejumlah hadiah disediakan bagi mereka yang berkoneksi sangat kuat. Bermodal teramat besar. Dan berkedudukan begitu tinggi. Namun, jika saja orang-orang yang tidak memiliki semua keistimewaan itu memilih untuk berhenti sebelum bertanding; kehidupan kita mungkin akan berubah wajah. Menjadi sebuah ironi ketidakberdayaan. Untungnya, sebagian besar manusia sederhana yang kita lihat adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah pejuang hebat yang tidak mudah menyerah. Tengoklah mereka yang tidak pernah lelah untuk terus merengkuh hidup. Mengagumkan sekali. Meskipun mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sejumlah miliaran atau sekedar ratusan ribu rupiah saja; namun mereka tetap melangkah, ikut terlarut dalam geliat hidup. Mereka tidak hendak berhenti. Sebab, sekalipun tahu bahwa uang besar adalah jatah orang-orang besar, namun ikut terlibat dalam permainan keseharian adalah pilihan yang paling bijaksana.

Jika kita berkesempatan untuk menyasar ke pasar-pasar pada pukul dua pagi, kita akan menemukan orang-orang dari jenis ini. Tukang gorengan. Para penyapu jalan. Para petugas pembersih toilet digedung-gedung perkantoran. Para buruh tani. Ibu-ibu tukang cuci pakaian. Para hansip dan petugas keamanan. Para guru bantu disekolah-sekolah reyot . Aih, betapa banyaknya orang yang ikut dalam lari marathon kehidupan ini. Apakah mereka akan mendapatkan piala? Tidak. Lantas, mengapa mereka ikut berlari? Karena, mereka ingin mengajari kita tentang hidup. Mengajari kita? Ya. Mengajari kita. Karena kita yang lebih beruntung ini sering sekali menyia-nyiakan hidup. Kita terlampau mudah untuk berkeluh kesah. Ketika kita tahu akan kalah, kita langsung menyerah. “Untuk apa kita bekerja jika dibayar dengan upah murah? Cuma membuat kaya para pengusaha saja!” Begitu kita sering berkilah. “Ngapain susah-susah begitu jika hasilnya cuma segini?” Kemudian kita memilih untuk tidur lagi. “Kalau begini caranya, aku berhenti saja!” Lalu kita keluar dari arena. Malu kita oleh orang-orang sederhana itu.

Padahal, Ayah dan Ibu sudah menyekolahkan kita dengan bersusah payah. Mereka mengumpulkan rupiah, demi rupiah. Dengan terengah-engah. Supaya kita bisa kuliah. Setelah kita lulus sekolah? Kita menjadi orang-orang yang begitu mudahnya untuk menyerah kalah. Setiap kali dihadapkan pada jalan yang menanjak sedikit saja, kita sudah cepat merasa lelah. Ketika tersandung dengan kerikil kecil saja, kita sudah mengeluh seolah kehilangan kaki sebelah. Bukan peristiwanya yang menjadi musibah. Melainkan sikap kita untuk memilih menjadi manusia bermental lemah.

Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. Meskipun mungkin mereka tidak sepintar kita. Tidak sekolah setinggi kita. Tidak berkulit semulus kita. Namun, semangat mereka dalam menjalani hidup, bukanlah tandingan bagi kita. Cobalah sesekali tengok garis-garis wajah mereka. Disana kita akan menemukan sebuah gambaran tentang hidup semacam apa yang mereka jalani setiap hari. Tidak lebih mudah dari kita. Sekalipun begitu; mereka enggan untuk berhenti. Mereka terus berlari. Untuk berlomba dalam marathon ini. Perlombaan yang hadiahnya mereka definisikan sendiri. Yaitu; menunaikan panggilan hidup. Dan, apakah sesungguhnya panggilan hidup itu? Untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Dengan segenap bekal yang telah Tuhan berikan didalam diri kita masing-masing. Bersediakah kita mendayagunakannya?


Catatan Kaki:
Hidup tidak selamanya tentang kalah dan menang. Melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dengan tindakan-tindakan yang memberi makna positif.

Pilihan Atas Naik Dan Turunnya Perjalanan Hidup

by Dadang Kadarusman

Sisa-sisa jiwa petualang saya masih agak sukar untuk dihilangkan. Terakhir kali adrenalin ditubuh saya dibuat agak bergejolak ketika saya harus pergi ke Puncak pada hari minggu sore. Panitia sudah memberitahu bahwa jalur ke arah Puncak akan ditutup dari jam 16.00 sampai 18.00 malam. Padahal, acara yang harus saya ikuti akan dimulai jam 19.00 malam. Akhirnya, saya memutuskan untuk berangkat lebih awal. Meskipun untuk itu saya harus membujuk anak lelaki kami yang masih belum puas bermain dengan saya. Sesuai perhitungan, saya bisa keluar di pintu tol Ciawi pada jam 15 lewat 20 menit. Sehingga saya mempunyai waktu yang lebih dari cukup untuk menembus jalur puncak sebelum ditutup. Tetapi, apa yang saya hadapi ternyata jauh dari dugaan. Jalur itu sudah ditutup lebih awal!

Pilihannya hanya ada 2. Menunggu dipinggir jalan selama 2 jam 40 menit, atau; mencoba jalur alternatif yang belum pernah saya lalui. Dan, saya mengambil pilihan yang kedua. Sebenarnya, ditempat itu, banyak sekali orang yang menawarkan jasa sebagai navigator, alias penunjuk jalan. Tetapi, saya memutuskan untuk melakukannya sendirian. Pada awalnya, jalur itu sangat enak untuk dilalui. Jalannya beraspal tebal. Dan bisa dibilang datar. Tidak salah lagi, perjalanan ini merupakan sebuah karunia, dimana kita bisa mengemudikan mobil sambil memandang alam yang indah disisi kiri dan kanan. Tapi, tunggu dulu. Jalur itu secara perlahan menyempit, menanjak dan menerjal. Juga berliku-liku. Selamat datang dipegunungan!

Serta merta saya menyadari bahwa mobil dengan transmisi otomatis tidak dirancang untuk naik dan turun gunung sedemikian ekstrimnya. Maka jadilah jantung saya berdebar-debar ketika harus menuruni jalan licin yang menukik tajam. Dan debaran itu menjadi semakin kencang lagi ketika melalui tanjakan yang kadang-kadang serasa lebih dari 45 derajat terjalnya. Hingga sesekali saya bertanya; bisakah mobil yang saya kendarai melewati tanjakan ini? Anda tidak mengharapkan mobil yang anda tumpangi mogok ditempat seperti ini, bukan? Sebab, tak jarang tanjakan itu diapit oleh tebing yang tinggi di sisi kiri, dan jurang yang dalam disebelah kanan. Tetapi, karena anda sudah memilih jalur itu, maka anda harus menghadapi resiko itu.

Sekalipun begitu, kembali ke jalur yang tadi bukan merupakan pilihan yang menarik. Disamping hal itu agak memalukan bagi saya yang terlanjur sok yakin ini; saya juga tidak menemukan tempat yang tepat untuk memutar kendaraan. Jangankan untuk memutar; sekedar berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan saja sudah harus berhenti salah satu. Dalam situasi seperti itu, diam-diam saya menyadari satu hal; ternyata hidup kita pun demikian. Kita mempunyai begitu banyak pilihan dalam hidup. Dan setiap kali kita memilih, maka kita harus bersedia menerima segala konsekuensinya. Kita boleh memilih untuk diam. Menunggu disuatu tempat sampai keadaan ’menjadi lebih baik’. Dan kita juga boleh memilih untuk melalui jalur alternatif. Bedanya, dipintu keluar tol Ciawi saya hanya perlu menunggu sampai tiba jam 18.00 malam. Dan jalur itu akan boleh saya lalui lagi. Tetapi, dalam hidup, kita tidak selalu tahu apa yang akan terjadi diujung penantian ini.

Dalam banyak hal, bersikap menunggu bukanlah pilihan yang tepat ketika kita tengah menjalani hidup. Sebab, seringkali, sikap menunggu hanya menyebabkan kita kehilangan kesempatan. Coba saja anda perhatikan. Orang-orang yang mengambil tindakan, seringkali berhasil mendahului mereka yang bersikap menunggu. Orang-orang yang pasif, nyaris selalui bisa dilampui oleh mereka yang pro-aktif. Memang, resiko menunggu itu lebih kecil, daripada mengambil tindakan yang progresif. Dan seperti kita ketahui, semakin besar tindakan yang kita ambil, semakin besar pula resikonya. Jika saya tidak ingin melalui jalan yang terjal dan mendaki itu, maka memang sebaiknya saya diam saja. Menunggu sampai jalur utama ke Puncak dibuka kembali. Terlebih lagi, saya sama sekali tidak tahu, perjalanan macam apa yang akan saya hadapi di jalur alternatif yang saya tempuh itu. Begitu juga hidup. Lebih aman jika kita berjalan pada jalur yang biasa kita lewati. Sehingga kita boleh menggugat; buat apa mencoba sesuatu yang aneh-aneh tanpa ada kepastian tentang ’seperti apa hasilnya nanti’?

Tapi, hey. Perjalanan barusan yang saya lalui dijalur alternatif ini telah memberi saya sebuah hal yang baru. Pengetahuan baru. Pemandangan baru. Kenikmatan-kenikmatan baru. Debaran-debaran baru. Dan, kepuasan baru dalam hidup saya. Bukankah hidup juga demikian?

Dengan kesediaan mencoba itu, saya telah bisa menikmati pemandangan yang begitu indah. Pemandangan yang tidak saya temukan dijalur yang biasa dilalui. Dengan kesediaan mencoba itu, saya merasakan batapa nikmatnya menjinakkan tanjakan yang terjal. Dan betapa serunya menaklukan turunan yang menukik tajam. Kenikmatan itu, hanya dirasakan oleh mereka yang pernah menjalaninya. Dan, bukankah hidup juga demikian?

Hore,
Hari Baru!

Catatan kaki:

1. Hidup tidak selalu berada di jalur datar. Kadang kita mesti mendaki. Kadang harus menurun. Ketika kita lagi mendaki, rasanya berat sekali. Kita rindu dengan jalan datar yang menyenangkan. Dan ketika kita tengah menurun, rasanya menakutkan. Kita rindu pada jalanan yang rata tak bergelombang.
2. Hidup tidak selalu berada dalam nikmat. Kadang kita diberi kesempatan untuk menempati singgasana yang tinggi. Tetapi, pasti ada saatnya bagi kita untuk turun lagi. Kita suka lupa, bagaimana caranya untuk turun. Terutama, jika kita sudah menempati posisi yang tinggi


Pesan ..

Hidup harus dijalani dengan baik, meski banyak cobaan dan hadangan menerjang. Kita harus tetap hidup karena pilihan untuk hidup adalah bahagia atau menderita. Jika menderita apakah tidak ada kebahagiaan dan sebaliknya jika bahagia apakah tidak ada penderitaan. Semua berpulang bagaimana kita menjalaninya. Bikinlah hidup menjdi lebih HIDUP

Dimana Anda memperingati kemerdekaan RI kali ini

Dimana Anda memperingati kemerdekaan RI kali ini? Dilapangan upacara, atau didepan pesawat televisi? Sungguh, saya merindukan semangat semasa kecil dulu; ketika saya begitu antusiasnya menyambut peringatan kemerdekaan RI. Ketika bendera-bendera kecil berkibaran dimana-mana. Ketika penduduk dari berbagai kampung berangkat bersama-sama menuju lapangan luas di alun-alun kecamatan untuk bersama-sama melakukan upacara bendera, dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Ketika bunyi kedepruk sepatu pasukan pengibar bendera menghentak-hentak lantai semen. Ketika semuanya memberi warna tersendiri kepada rasa terimakasih kita atas pengorbanan para pejuang kemerdekaan. Apakah Anda merasakan semangat yang sama?

Entah bagaimana dengan Anda, tapi semakin hari, saya merasakan bahwa semangat itu semakin memudar saja. Dihari gini, ’mengikuti upacara’ didepan pesawat televisi seolah sudah menjadi budaya baru cara kita mengenang kepahlawanan. Bahkan, mungkin semangat itu sudah sedemikian hambarnya sehingga Tanggal 17 Agustus tidak lebih dari sekedar sebuah tanggal merah belaka. Jadi, tidak heran jika kita menjadi mata rantai yang terputus dari sebuah proses pewarisan sejarah dan semangat itu dari generasi ke generasi. Betapa tidak? Kita tidak memberi kesempatan anak dan cucu kita untuk mencicipi sedikit dari semangat itu. Dan kita membiarkan mereka ’mengalami’ semangat itu hanya dengan membacanya dari buku-buku disekolah.

Tahun ini pengurus RW dan RT dilingkungan kami bersepakat untuk mengembalikan semangat itu lagi. Berkoordinasi dengan Kelurahan dan RW-RW lain melakukan peringatan kemerdekaan itu secara bersama-sama. Bukan melalui pesawat televisi sambil menyaksikan upacara dari istana merdeka. Melainkan melakukannya secara ’live’ dengan menggabungkan seluruh unsur masyarakat dan aparat pemerintahan. Kami bertekad bahwa mulai tahun ini; setiap peringatan 17 Agustus akan dilakukan secara bersama-sama, secara bergiliran. Dan sebagai penghargaan dari Pak Lurah, beliau memberikan kesempatan kepada RW kami untuk menjadi tuan Rumah Upacara bersama untuk pertama kalinya ini.

Maka, jadilah 17 Agustus tahun ini istimewa. Menghadirinya membuat saya kembali kepada masa-masa kecil dulu. Lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta kembali mengalun. Teks Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kembali dibacakan. Dan naskah proklamasi kembali dikumandangkan. Serta merta saja, bulu kuduk saya merinding. Seolah semangat kepahlawanan berhembus lembut terbawa angin menerpa hati kami yang sudah lama gersang.

Untuk sejenak, kami merasakan kembali makna kemerdekaan ini. Kemerdekaan yang didapat dengan banyak pengorbanan, dan jiwa kepahlawanan. Seolah-olah, kami diingatkan kembali bahwa merdeka, juga berarti membebaskan diri dari belenggu ketidakpedulian. Terutama, ketidakpedulian bahwa bangsa ini sesungguhnya sudah merdeka. Namun, karena kita tidak perduli, kita tidak benar-benar merasakan maknanya. Makna, bahwa kita ini sudah merdeka. Merdeka!

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Pernahkah anda memiliki sesuatu yang tidak anda sadari betapa pentingnya dia hingga anda kehilangan benda itu? Saya sering mengalami hal semacam itu. Misalnya, lampu senter. Ketika arus listrik mengalir lancar, saya sering tidak peduli pada keberadaan lampu senter itu. Namun, ketika lampu mati, saya kelimpungan mencari-cari dimana saya meletakkan benda kecil itu. Tiba-tiba saja saya merasakan betapa berharganya sebuah lampu senter. Dan betapa hidup saya bergantung kepadanya. Ketika seluruh ruangan dirumah saya menjadi gelap gulita, saya baru menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan sang lampu senter selama ini. Itu hanya soal lampu senter. Bayangkan seandainya itu menyangkut sesuatu yang sangat menentukan kelangsungan hidup kita? Misalnya pekerjaan yang kita miliki ini. Bukankah kita sering kurang menyadari betapa berharganya pekerjaan kita ini; sampai-sampai kita lebih sering mengeluh daripada mensyukurinya?



Beberapa waktu yang lalu saya mampir ke sebuah mal. Ada hal aneh di mal itu, namun saya tidak begitu yakin apa penyebabnya. Setelah cukup lama berkutat dengan rasa penasaran, akhirnya saya menemukan kejanggalan itu. Di Mal itu, ada beberapa outlet yang menghilang. Salah satunya adalah counter makanan kecil dimana saya biasa membeli kuaci untuk cemilan selagi menonton televisi. Ada outlet fashion yang berubah menjadi ruangan kosong melompong, sebuah restoran yang raib, dan space sebuah cafe yang tinggal setengahnya.



Untuk sejenak saya terpana. Membayangkan orang-orang yang beberapa hari lalu ada di mal ini untuk melayani pelanggan-pelanggan nya. Namun, hari ini mungkin mereka berada dirumah, tanpa tahu kapan akan kembali melakukan pekerjaannya lagi. Anda yang tidak pernah kehilangan pekerjaan mungkin tidak akan mampu membayangkan betapa beratnya itu. Tapi mereka yang mengalaminya, tahu persis bagaimana rasanya. Pertanyaannya adalah; apakah kita harus menunggu kehilangan terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menyadari betapa bernilainya pekerjaan kita ini?



Pengabaian kita terhadap pekerjaan memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan pengabaian kita kepada benda-benda kecil seperti lampu senter tadi. Mengapa? Karena kita seringkali menganggap bahwa ’kitalah sang pemilik’ pekerjaan itu. Oleh karena itu, sebagai pemilik kita merasa memiliki segala kewenangan untuk memperlakukan kepemilikan kita itu sesuka hati kita. Padahal, faktanya; ’kita bukanlah pemilik pekerjaan itu’. Perusahaan tempat kita bekerjalah yang memilikinya. Bukan kita. Buktinya, jika perusahaan ingin mengambil kembali pekerjaan yang kita pegang, maka kita dengan sukarela atau terpaksa mesti ’mengembalikan’ pekerjaan itu kepada perusahaan.



Jebakan rasa kepemilikan semu itu menimbulkan otoritas imitatif pada kebanyakan pekerja. Sehingga, mereka mengira boleh bersikap apapun terhadap pekerjaannya. Ya, namanya juga pemilik. Mau melakukan apapun semau-maunya juga boleh saja, bukan? Makanya, begitu banyak orang yang terlambat menyadari bahwa pekerjaannya benar-benar berharga, yaitu ketika mereka kehilangan pekerjaannya. Sebaliknya, ketika mereka masih ’memiliki’ pekerjaan itu, mereka cenderung mengabaikannya.



Salah satu ciri paling umum orang yang seperti itu adalah; mereka tidak sungguh-sungguh menuangkan seluruh potensi dan kapasitas dirinya untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam pekerjaannya. Mereka mengira bahwa dengan tidak menggunakan kapasitas dirinya itu, perusahaan yang akan rugi. Padahal, kerugian paling besar dialami oleh dirinya sendiri. Mengapa begitu? Ada 2 alasan. Pertama, dengan tidak mencurahkan seluruh potensi dirinya secara optimal akan memperkuat alasan bagi perusahaan untuk mencari orang lain yang bisa menggantikannya. Kedua, tidak mendayagunakan potensi diri sama artinya menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Bukankah Tuhan pun belum tentu suka kepada orang yang menyia-nyiakan anugerahNya?



Ciri lainnya adalah; rendahnya tingkat disiplin kerja mereka. Orang-orang yang percaya bahwa pekerjaannya berharga tidak mungkin mengabaikan disiplin diri dalam bekerja. Sebab, mereka tahu bahwa perusahaan bisa sewaktu-waktu mengambil pekerjaan itu darinya lalu diberikan kepada orang lain yang lebih bisa berdisiplin. Dengan kata lain, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mencegah hal itu tidak terjadi adalah; menunjukkan disiplin yang tinggi saat bekerja. Sebaliknya, orang-orang yang lupa betapa berharganya pekerjaannya sering menganggap bahwa disiplin mesti dijalankan jika dan hanya jika dia diawasi. Jika tidak ada yang mengawasi, mengapa mesti berdisiplin tinggi?



Padahal, disiplin adalah urusan pribadi. Karena, kedisiplinan berhubungan langsung dengan integritas diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas diri pasti akan menghargai pekerjaannya. Sehingga selama bekerja, dia akan bersungguh-sungguh, dan mengerahkan seluruh potensi dirinya. Untuk mencapai prestasi. Yang tinggi.

mari tetap semangat

I2 (Imagine Indonesia)

Ayo gabung di I2 (imagine Indonesia)

...tunjukkan padaku yang kamu sebut indonesia? Niscaya kamu hanya akan menunjuk tanda dan simbol belaka..." (kutipan status FB....hahahaha)


Ketika anda diminta menunjuk apa yang anda maksud dengan indonesia, apa yang akan anda tunjuk? Merah putih? Garuda? Pancasila? Orang Indonesia? Soekarno - Hatta? Atau sebuah petak dalam peta? Atau tulisan "Indonesia"? Begitulah. Setiap kali kita diminta menunjuk Indonesia maka kita akan menunjuk pada tanda atau simbol yang menggambarkan Indonesia. Karena Indonesia adalah imaji. Indonesia adalah ide. Kita yakini keberadaan indonesia tetapi tidak pernah bisa kita tunjuk. Indonesia ada dalam benak kita. Sebagaimana pandangan Ben Anderson, bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan.

Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai indonesia jauh lebih penting kesadaran subyektifitas setiap orang daripada kenyataan obyektif yang ada. Indonesia adalah sebentuk imaji yang kita sadari dengan segala pengalaman historis, harapan dan impian kita. Pengalaman berbeda akan membentuk indonesia yang berbeda. Keunikan harapan dan impian akan menentukan keunikan indonesia yang kita bayangkan. Kesadaran subyektif akan indonesia ini yang akan menentukan tindakan-tindakan kita terhadap indonesia. Imaji kita akan menginspirasi tindakan kita. Image inspire action.

Menengok sejarah, imaji mengenai indonesia telah lama ada jauh sebelum dunia mengenai negara kesatuan Republik Indonesia. Jauh sebelum proklamasi. Tan Malaka di awal abad 20, tanpa lelah mempromosikan sebentuk imaji "Repoeblik Indonesia" mulai dari jawa, sumatera, singapura, bahkan sampai hongkong dan rusia. Beberapa tahun kemudian ide tentang Indonesia Merdeka di cetuskan oleh Soekarno dan bergaung dalam dada banyak orang.

Pada saat itu, setiap orang dengan bebas mengimajinasikan dan mengimajinasikan kembali sebentuk indonesia. Bagi segelintir orang, ide indonesia adalah ide konyol. Tak heran mereka memilih berdiam diri atau malah menjadi aparat Belanda hingga ajal menjelang. Ada yang membayangkan ide indonesia sebagai sebuah janji tanah impian. Tak heran berduyun-duyun orang bergerak memperjuangkan kemerdekaan republik yang baru berumur beberapa hari.

Selama puluhan tahun kemudian, indonesia sebagai sebuah imaji diyakini dan diperjuangkan sebagai tatanan kehidupan bersama. Hidup bersama sebagai sebuah bangsa, bangsa indonesia. Lahir berbagai dialog yang mengkomunikasikan pemahaman akan tindakan-tindakan yang boleh, yang harus, dan mana yang tidak boleh.

Sepanjang perjalanan bangsa indonesia, ribuan bahkan jutaan imaji mengenai indonesia lahir. Ada yang mati. Ada yang hidup. Ada yang terus berkembang. Dinamika imaji ini adalah dinamika perjalanan bangsa indonesia.

Sampai suatu ketika, lahir dan bangkit sebuah rejim otoriter. Rejim yang menetapkan interpretasi tunggal atas indonesia. Di luar interpretasi itu, bukanlah indonesia. Entah dituduh sebagai kebarat-baratan. Atau bahkan dituduh sosialisme atau komunis. Imaji selain interpretasi tunggal di bunuh, sebagaimana nasib orang yang mengusung imaji tersebut.

Indonesia adalah milik kita semua. Milik dalam arti yang paling hakiki. Karena indonesia bukanlah emblem di jaket kita yang bisa di sobek sewaktu-waktu. Karena indonesia bukan pula stiker yang menempel di kendaraan kita yang bisa kita kelupas kapan saja. Karena indonesia bukanlah foto profil di Facebook kita yang bisa kita ganti semaunya. Indonesia adalah imaji yang kita imajinasikan dalam benak kita. Kita bisa imajinasikan indonesia sebagai tempat kumuh, dimana kita berusaha mengisolasi diri dan menutup hidung ketika berada di dalamnya. Kita bisa imajinasikan sebagai rumah nyaman, dimana kita akan kembali walau kemanapun langkah kita pergi. Apapun bisa kita imajinasikan. Walau kita sama-sama bangsa indonesia, kita menjalani keindonesiaan dengan penghayatan unik kita.


Lalu apa arti kemerdekaan sebagai sebuah imaji?
Silahkah klik di
http://appreciative organization. wordpress. com/
Facebook: imagine indonesia - i2
http://www.facebook .com/pages/ Imagine-Indonesi a-I2/11388241275 0
Ini ada ulasan dari kang Dadang

Mengapa Kemampuan Belajar Kita Menurun Drastis?



Salah satu kemunduran yang kita alami seiring dengan bertambahnya umur adalah; berkurangnya kemampuan kita dalam belajar. Kalau kita berusaha untuk menghafal sesuatu misalnya, hafalan kita hanya bertahan beberapa jam saja. Atau, paling lama dalam hitungan hari. Setelah itu, kita lupa lagi, seolah tidak pernah melewati proses menghafal tadi. Selama ini kita percaya bahwa menurunnya kemampuan kita dalam belajar ada kaitannya dengan penurunan kemampuan otak kita. Oleh karena itu, orang-orang dewasa seperti kita selalu mempunyai cukup alasan untuk diberi belas kasihan. Jadi, ”harap dimaklumi saja jika orang dewasa seperti kami ini agak ’telmi’”. Tetapi, apakah penurunan kemampuan kita dalam menyerap ilmu itu benar-benar disebabkan oleh penurunan kemampuan otak, ataukah karena kurangnya antusiasme kita dalam belajar?



Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam sebuah forum yang berkaitan dengan acara familiy gathering sebuah perusahaan. Tidak banyak waktu yang disediakan bagi saya. Hanya 45 menit saja. Namun, meski sangat singkat; sesi itu sangat spesial bagi saya. Sebab, audience yang hadir disana terdiri dari anak-anak, remaja hingga pimpinan puncak perusahaan. Berbicara diforum orang dewasa memang merupakan pekerjaan saya. Bagaimana dengan anak-anak? Itu juga bukan masalah, karena semasa kuliah dulu, saya ikut mengabdikan diri untuk menjadi mentor bagi anak-anak TK, SD, dan SMP di PAS-ITB. Not, that hard to deal with, actually. Tetapi...., masalahnya adalah; sekarang kedua tipe audience itu digabungkan dalam satu forum dimana saya harus menyampaikan pesan penting bagi semua. That’s quite a challenge.



Saya tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa anak-anak dalam forum yang saya fasilitasi itu begitu antusias dan cerdas. Mereka mengerumuni saya, serta menjawab pertanyaan-pertanya an yang saya lontarkan dengan penuh semangat. Dan cara mereka menjawab; bukan main, seolah mereka menggunakan semua energi yang dimilikinya. Mereka mengangkat tangan, melompat, dan berteriak. Tidak heran kalau pada usia seperti mereka, manusia bisa mencapai tingkat efisiensi proses belajar yang paling tinggi.



Sesaat setelah menyelesaikan sesi itu, saya kembali merenungkan satu hal, yaitu; betapa mengagumkannya semangat belajar anak-anak dalam forum itu. Dan menengok kembali kebelakang ketika saya masih menjadi pembina PAS-ITB dulu, saya kira; memang demikianlah adanya anak-anak. Mereka memiliki semangat belajar yang teramat sangat tinggi. Sampai-sampai, mereka membuntuti kemanapun saya pergi selama sesi itu.



Sampai disini, saya kembali tersadarkan, bahwa; kita para lelaki dan perempuan dewasa telah kehilangan antusiasme dalam belajar. Padahal, dahulu kala kita adalah little boys dan little girls yang pernah memiliki antusiasme itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita disampaikan sebuah pesan berisi pelajaran berharga dan nilai-nilai luhur; kita begitu bersemangatnya untuk menyerap seluruh ilmu itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita diajukan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu kita saling berebut untuk mengajukan diri, sambil mengangkat tangan dan terteriak; ”Saya Pak Guru! Saya Pak Guru!” seolah kita tengah berlomba dengan teman-teman agar dipilih sang guru untuk melakukan tugas didepan kelas. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu kita segera mengangkat tangan dan bertanya; ”Bu Guru, itu maksudnya apa?” tanpa khawatir ditertawakan oleh teman-teman sekelas.



Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana kita sering kehilangan gairah untuk menerima masukan yang berisi pelajaran-pelajaran berharga. Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita ditantang untuk melakukan sesuatu kita bersembunyi sambil menunjuk-nunjuk teman kita; ”kamu saja, kamu saja...” Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita tidak mengerti sesuatu kita memendamnya dalam hati seolah terbebani oleh stigma orang lain, bahwa; ”Jika bertanya, maka kita menunjukkan betapa bodohnya kita”. Padahal, kita tahu bahwa kebodohan itu sangat memalukan. Jadi, kita memilih untuk berpura-pura tahu; daripada menanggung resiko dikira bodoh.



Oleh karena itu, tidak heran jika semakin tua; semakin berkurang kemampuan kita dalam belajar dan mengambil hikmah. Padahal, hikmah dan pelajaran itu berserakan disekitar kita. Namun kita sudah kehilangan kemampuan untuk menerimanya. Mencernanya. Dan meresapinya. Tiba-tiba saja; saya merindukan masa-masa ketika saya masih kecil dulu. Masa dimana saya begitu bersemangatnya. Untuk. Mempelajari. Segala sesuatu.



Mari Berbagi Semangat!

Dadang Kadarusman

Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator

http://www.dadangka darusman. com/

Talk Show setiap Jumat jam 06.30-07.30 di 103.4 DFM Radio Jakarta



Catatan Kaki:

Berkurangnya kemampuan kita dalam belajar dan menyerap ilmu tidak disebabkan oleh menurunnya kemampuan otak kita; melainkan oleh memburuknya sikap mental kita, ketika menjalani proses belajar itu.