Kamis, Agustus 20, 2009

Pilihan Atas Naik Dan Turunnya Perjalanan Hidup

by Dadang Kadarusman

Sisa-sisa jiwa petualang saya masih agak sukar untuk dihilangkan. Terakhir kali adrenalin ditubuh saya dibuat agak bergejolak ketika saya harus pergi ke Puncak pada hari minggu sore. Panitia sudah memberitahu bahwa jalur ke arah Puncak akan ditutup dari jam 16.00 sampai 18.00 malam. Padahal, acara yang harus saya ikuti akan dimulai jam 19.00 malam. Akhirnya, saya memutuskan untuk berangkat lebih awal. Meskipun untuk itu saya harus membujuk anak lelaki kami yang masih belum puas bermain dengan saya. Sesuai perhitungan, saya bisa keluar di pintu tol Ciawi pada jam 15 lewat 20 menit. Sehingga saya mempunyai waktu yang lebih dari cukup untuk menembus jalur puncak sebelum ditutup. Tetapi, apa yang saya hadapi ternyata jauh dari dugaan. Jalur itu sudah ditutup lebih awal!

Pilihannya hanya ada 2. Menunggu dipinggir jalan selama 2 jam 40 menit, atau; mencoba jalur alternatif yang belum pernah saya lalui. Dan, saya mengambil pilihan yang kedua. Sebenarnya, ditempat itu, banyak sekali orang yang menawarkan jasa sebagai navigator, alias penunjuk jalan. Tetapi, saya memutuskan untuk melakukannya sendirian. Pada awalnya, jalur itu sangat enak untuk dilalui. Jalannya beraspal tebal. Dan bisa dibilang datar. Tidak salah lagi, perjalanan ini merupakan sebuah karunia, dimana kita bisa mengemudikan mobil sambil memandang alam yang indah disisi kiri dan kanan. Tapi, tunggu dulu. Jalur itu secara perlahan menyempit, menanjak dan menerjal. Juga berliku-liku. Selamat datang dipegunungan!

Serta merta saya menyadari bahwa mobil dengan transmisi otomatis tidak dirancang untuk naik dan turun gunung sedemikian ekstrimnya. Maka jadilah jantung saya berdebar-debar ketika harus menuruni jalan licin yang menukik tajam. Dan debaran itu menjadi semakin kencang lagi ketika melalui tanjakan yang kadang-kadang serasa lebih dari 45 derajat terjalnya. Hingga sesekali saya bertanya; bisakah mobil yang saya kendarai melewati tanjakan ini? Anda tidak mengharapkan mobil yang anda tumpangi mogok ditempat seperti ini, bukan? Sebab, tak jarang tanjakan itu diapit oleh tebing yang tinggi di sisi kiri, dan jurang yang dalam disebelah kanan. Tetapi, karena anda sudah memilih jalur itu, maka anda harus menghadapi resiko itu.

Sekalipun begitu, kembali ke jalur yang tadi bukan merupakan pilihan yang menarik. Disamping hal itu agak memalukan bagi saya yang terlanjur sok yakin ini; saya juga tidak menemukan tempat yang tepat untuk memutar kendaraan. Jangankan untuk memutar; sekedar berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan saja sudah harus berhenti salah satu. Dalam situasi seperti itu, diam-diam saya menyadari satu hal; ternyata hidup kita pun demikian. Kita mempunyai begitu banyak pilihan dalam hidup. Dan setiap kali kita memilih, maka kita harus bersedia menerima segala konsekuensinya. Kita boleh memilih untuk diam. Menunggu disuatu tempat sampai keadaan ’menjadi lebih baik’. Dan kita juga boleh memilih untuk melalui jalur alternatif. Bedanya, dipintu keluar tol Ciawi saya hanya perlu menunggu sampai tiba jam 18.00 malam. Dan jalur itu akan boleh saya lalui lagi. Tetapi, dalam hidup, kita tidak selalu tahu apa yang akan terjadi diujung penantian ini.

Dalam banyak hal, bersikap menunggu bukanlah pilihan yang tepat ketika kita tengah menjalani hidup. Sebab, seringkali, sikap menunggu hanya menyebabkan kita kehilangan kesempatan. Coba saja anda perhatikan. Orang-orang yang mengambil tindakan, seringkali berhasil mendahului mereka yang bersikap menunggu. Orang-orang yang pasif, nyaris selalui bisa dilampui oleh mereka yang pro-aktif. Memang, resiko menunggu itu lebih kecil, daripada mengambil tindakan yang progresif. Dan seperti kita ketahui, semakin besar tindakan yang kita ambil, semakin besar pula resikonya. Jika saya tidak ingin melalui jalan yang terjal dan mendaki itu, maka memang sebaiknya saya diam saja. Menunggu sampai jalur utama ke Puncak dibuka kembali. Terlebih lagi, saya sama sekali tidak tahu, perjalanan macam apa yang akan saya hadapi di jalur alternatif yang saya tempuh itu. Begitu juga hidup. Lebih aman jika kita berjalan pada jalur yang biasa kita lewati. Sehingga kita boleh menggugat; buat apa mencoba sesuatu yang aneh-aneh tanpa ada kepastian tentang ’seperti apa hasilnya nanti’?

Tapi, hey. Perjalanan barusan yang saya lalui dijalur alternatif ini telah memberi saya sebuah hal yang baru. Pengetahuan baru. Pemandangan baru. Kenikmatan-kenikmatan baru. Debaran-debaran baru. Dan, kepuasan baru dalam hidup saya. Bukankah hidup juga demikian?

Dengan kesediaan mencoba itu, saya telah bisa menikmati pemandangan yang begitu indah. Pemandangan yang tidak saya temukan dijalur yang biasa dilalui. Dengan kesediaan mencoba itu, saya merasakan batapa nikmatnya menjinakkan tanjakan yang terjal. Dan betapa serunya menaklukan turunan yang menukik tajam. Kenikmatan itu, hanya dirasakan oleh mereka yang pernah menjalaninya. Dan, bukankah hidup juga demikian?

Hore,
Hari Baru!

Catatan kaki:

1. Hidup tidak selalu berada di jalur datar. Kadang kita mesti mendaki. Kadang harus menurun. Ketika kita lagi mendaki, rasanya berat sekali. Kita rindu dengan jalan datar yang menyenangkan. Dan ketika kita tengah menurun, rasanya menakutkan. Kita rindu pada jalanan yang rata tak bergelombang.
2. Hidup tidak selalu berada dalam nikmat. Kadang kita diberi kesempatan untuk menempati singgasana yang tinggi. Tetapi, pasti ada saatnya bagi kita untuk turun lagi. Kita suka lupa, bagaimana caranya untuk turun. Terutama, jika kita sudah menempati posisi yang tinggi


Pesan ..

Hidup harus dijalani dengan baik, meski banyak cobaan dan hadangan menerjang. Kita harus tetap hidup karena pilihan untuk hidup adalah bahagia atau menderita. Jika menderita apakah tidak ada kebahagiaan dan sebaliknya jika bahagia apakah tidak ada penderitaan. Semua berpulang bagaimana kita menjalaninya. Bikinlah hidup menjdi lebih HIDUP

0 komentar:

Posting Komentar